Rabu, 24 Oktober 2018

Wajibnya Menyingkap Kedok Ulama Sesat


Syariat islam telah diturunkan untuk menjaga lima perkara primer yang merupakan pondasi terpenting kehidupan manusia dalam Dien dan dunia mereka, yaitu menjaga Dien (Agama), jiwa, akal, kehormatan dan harta mereka, tidak diragukan lagi bahwa terjaganya agama adalah kemaslahatan dan tujuan tertinggi.

Oleh karena itu Alloh mengharamkan syirik dan semua penyebabnya. Alloh juga mengharamkan berbicara atas nama nya tanpa ilmu, mengharamkan bid'ah dan semua hal yang diada-adakan (dalam agama). Karenanya mengingatkan umat dari kesyirikan dan bid'ah, menerangkan keadaan para pelaku dua hal tersebut, menyingkap keadaan dan kebatilan mereka merupakan salah satu kewajiban.


Ini termasuk nasehat wajib, demi menjaga agama kaum muslimin, sebagaimana diriwayatkan dari Tamim ad-Dari radhiyallahu'anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam bersabda: "Agama adalah nasehat,"kami bertanya."untuk siapa..?" Beliau menjawab,"Untuk Alloh, Kitabnya, Rasulnya, Para imam kaum muslimin dan kaum muslimin umumnya".(HR. Muslim).

Oleh karena itu, membantah ahli bid'ah dan mengingatkan umat terhadap perkara mereka termasuk dari 'Amar ma'ruf nahi munkar. Alloh berfirman: "Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung." (Ali Imran. 104).

'Abul Abbas Ibnu Taimiyah berkata: "Seperti para gembong bid'ah dari kalangan para pelontar pendapat yang menyelisihi al-kitab dan as-sunnah maupun para pelaku ibadah-ibadah yang menyelisihi al-kitab dan as-sunnah.

Sejatinya menyingkap kedok mereka dan memperingatkan umat dari mereka adalah wajib menurut kesepakataan kaum muslimin. Pasalnya, memurnikan jalan Alloh, agamanya, manhajnya dan syariatnya, serta menghindari kezaliman dan permusuhan mereka itu adalah perbuatan wajib kifayah menurut kesepakatan kaum muslimin.

Jika saja Alloh tidak menggerakkan orang-orang yang menghadang bahaya mereka, niscaya agama ini akan rusak. Sesungguhnya kerusakan agama lebih berbahaya daripada kerusakan penjajahan musuh dari golongan ahli harbi (kafir yang wajib diperangi.pent) karena apabila mereka merampas suatu negri , tetaplah tidak bisa merusak hati dan agama penduduknya kecuali setelah berlalu beberapa waktu. Sedangkan para gembong bid'ah itu sasaran utama mereka adalah merusak hati." (Majmu' al Fatawa).

Ditetapkan dalam as-Sunnah tentang bolehnya membicarakan aib seorang laki-laki berperangai buruk, dengan menyebut namanya langsung bukan secara umum saja. Dan dianalogikan darinya untuk ahli bid'ah, maka diperbolehkan untuk menggunjingnya (ghibah) untuk memperingatkan manusia darinya. Dari 'Aisyah radhiyallahu'anha berkata. "Seorang lelaki meminta izin menemui Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam, maka beliau bersabda,"izinkan dia , sungguh dia seburuk-buruk saudara kabilah" atau "Anak kabilah". Ketika dia masuk ternyata Rasulullah berkata lembut kepadanya. Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, engkau mengatakan apa yang engkau katakan itu, lalu engkau berkata lembut padanya?" Beliau menjawab, "Wahai 'Aisyah, sejelek-jelek manusia adalah orang yang ditinggalkan orang-orang karena takut akan kekejiannya."(muttafaq 'Alaih).

Para salaf memperingatkan agar tidak menuntut ilmu kepada pelaku bid'ah. Imam Muslim meriwayatkan dalam shahihnya dari Imam Ibnu Sirin yang berkata "Sesungguhnya ilmu ini adalah (bagian dari) agama, maka perhatikanlah dari mana kalian mengambil agama kalian" Dan dia juga berkata, "Dulu para salaf tidak menanyakan tentang sanad. Namun ketika terjadi berbagai fitnah mereka berkata, "Sebutkan siapa saja perawimu .! Jika ahlu sunnah, maka haditsnya diambil namun jika ahlul bid'ah maka haditsnya ditolak".

Inilah Syababah bin Sawat al-Fazzari yang wafat pada 206 H. Ketika dia terkena paham Murji'ah maka Imam Ahmad pun meninggalkannya dan berkata, "Aku tidak akan menulis hadits-haditsnya lantaran dia terkena paham Murji'ah". (Tahdzib al Kamal).

Berarti ada dari ahlul bid'ah yang berilmu, menguasai keilmuan dan piawai dalam berbagai disiplin ilmu. Namun hal itu tidak menyilaukan mata para Imam ahlu Sunnah yang justru menjauhi mereka. Ahli bid'ah justru menjadi hujjah yang membantah mereka. Ilmu adalah rasa takut kepada Alloh dan Ilmu adalah amal sebagaimana Ibrahim an Naka'i mengatakan, "Jika kami hendak berguru kepada seorang syaikh, maka kami tanyakan kepadanya tentang makanannya, minumannya, tempat apa yang ia singgahi dan kemana dia berpergian. Jika perilakunya lurus maka kami akan berguru padanya, namun jika tidak maka kami tidak akan mendatanginya".(al-Kamil fi Dhu'afa' ar-Rijal).

Para salaf bahkan tidak segan-segan menyebutkan nama perawi yang salah dalam periwayatan lantaran buruknya hafalan maupun kecermatannya secara tegas sekalipun dia orang baik dan istiqamah. Demikianlah agar manusia mewaspadai kesalahannya. Ini bukanlah ghibah yang diharamkan, melainkan nasehat wajib sehingga kesalahan pada syariat tidak melekat dipikiran manusia yang akan mengiranya bagian dari agama, lalu mereka mengikutinya. Oleh karena itu dalam sejarah Islam muncul satu ilmu mulia lagi agung bernama Ilmu, "Al Jarh wa at-Ta'dil" (kaidah-kaidah kritik dan penetapan kejujuran perawi hadits.pent) Ilmu ini adalah salah satu kebanggaan umat, menjaga as-Sunnah dan membedakan yang shahih dan yang dha'if.

Ilmu Jarh wa at-Ta'dil adalah salah satu disiplin ilmu hadits. Topik pembahasannya adalah mengenai kondisi para perawi hadits para pelansir ilmu terkait sifat adil mereka, kecermatan, kebenaran dan kejujuran mereka. Kondisi para perawi itu disebutkan secara rinci, termasuk jika mereka punya semisal lemah hafalan, tadlis (menyembunyikan perawi yang cacat dari silsilah sanad.pent) wahm (hafalannya tercampur baur.pent) atau karena dusta.

Para ulama telah menulis kitab-kitab khusus menyangkut para perawi yang cacat itu. Imam al-Bukhari menulis kitab adh-Dhu'afaa. Abu Ja'far al-'Uqaili (wafat 322 H) juga menulis kitab dengan judul yang sama. an-Nasa'i (wafat 303 H) menulis kitab Sunan menulis kitab berjudul adh-Dhu'afa wa al-Matrukun (para perawi lemah dan matruk) ad-Daruquthni (wafat 385 H) dan Ibnul Jauzi (wafat 598 H) menulis kitab berjudul sama. Ibnu 'Addi al-Jurjani (wafat 365 H) menulis kitab berjudul al-Kamil fi Dhu'afaa ar-Rijal (ensiklopedi para perawi lemah) dan masih banyak ulama lain yang menulis kitab-kitab masyhur lagi penting dalam disiplin ilmu ini.

Abdullah bin Imam Ahmad bin Hambal menceritakan "Suatu ketika Abu Thurab an-Nakhsyabi mendatangi ayahku (untuk menuntut ilmu). Ayahku ketika itu berkata, "Si fulan lemah, si fulan terpercaya". Mendengar hal ini Abu Thurab berkata , "Wahai syaikh, janganlah engkau mengghibah ulama. Maka ayahku menengok kepadanya dan berkata, "Celaka engkau, ini nasehat bukan ghibah". (Tarikh Baghdad).

Ibnul Jauzi menyebutkan dari Muhammad bin Bandar al-Jurjani, dia berkata, "Aku mengungkapkan kepada Ahmad bin Hambal bahwa aku merasa keberatan untuk mengatakan fulan ini lemah, Fulan ini pendusta, maka dia menanggapi, "Jika engkau diam dan aku diam, maka kapan orang bodoh akan mengerti ma'na (hadits) yang benar dan yang cacat". (adh Dhu'afa wa al-Matrukun).

Jika ternyata demikian manhaj para imam berkenaan dengan perawi yang salah dalam meriwayatkan sekalipun mereka itu orang shalih dan istiqamah, namun kesalahannya tetap disebutkan agar manusia bisa mewaspadainya, maka petunjuk mereka berkenaan dengan ahli bid'ah dan hawa nafsu lebih keras dan tegas lagi, yaitu mentahdzir (peringatan) dan menghajr (boikot) sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.

Adapun terhadap pelaku bid'ah mukaffirah (bid'ah pemicu vonis kekafiran.pent) para imam berlepas diri dari mereka dengan membuat banyak bantahan, celaan, peringatan, cercaan dan bahkan pengkafiran perhatikanlah Bisy al-Murisi yang mengatakan bahwa al-Qur'an adalah makhluk, mengingkari nama-nama Alloh dan prinsip-prinsip yang qath'i (konstan /baku). Para Imam Ahlussunnah telah mencelanya dan memperingatkan manusia darinya. Mereka menulis bantahan terhadapnya dengan menyebut namanya secara jelas, seperti yang dilakukan Imam Abu Sa'id ad-Darimi dalam kitabnya Naqdhu Utsman bin Sa'id 'Ala Bisyr al-Murisi al-Jahmi al-Anid 6 Ma Iftara 'Alallah fi at-Tauhid (kritikan Utsman bin Sa'id atas Bisyr al-Murisi Si Jahmi keras kepala. Karena kedustaannya kepada Alloh dalam tauhid). Bahkan para imam Ahlussunnah mengkafirkannya dan menggolongkannya kepada pendahulunya, yaitu Jahm bin Shafwan. Ketika ditanya tentang Bisyr al-Murisi. Hammad bin Zaid berkata, "Dia itu kafir". (ad-Darimi an-Naqdhu 'Ala al-Murisi) Syaikh Abdul Latif Alu Syaikh berkata, "Para ulama sepakat mengkafirkannya,"(Majmu'ah ar-Rasail).

Padahal al-Murisi ini salah seorang yang berguru kepada para ulama dan fuqaha di zamannya, mendengarkan riwayat mereka dan berdiskusi dengan mereka. Bahkan adz-Dzahabi berkata ketika menyebutkan biografinya, "Ahli kalam, ahli debat dan seorang pakar. Bisyr adalah seorang ahli fikih ternama, berguru kepada al-Qadhi dan Sufyan bin Uyainah. Dia mempelajari ilmu kalam dan menguasainya, sehingga hilanglah ketakwaan dan wara'nya. Dengan beraninya dia berkata al-Qur'an adalah makhluk, dan menyeru kepada pemahamannya itu sampai menjadi gembong dan ulama Jahmiyah pada masanya". (Sairu 'Alam an-Nubala).

Bahkan kita mendapati diantara Imam Ahlussunnah yang bukan hanya mengkafirkan Jahmiyah dan pemimpinnya, si al-Murisi namun juga memprovokasi untuk membunuh para pembesarnya. Imam Yazid bin Haram berkat, "Jahmiyah itu kafir, sudah lebih dari sekali aku memprovokasi penduduk Baghdad untuk membunuh al-Murisi" .(ad-Darimi, ar-Raddu 'Ala al-Jahmiyah).

Tidak ketinggalan Amirul Mukminin Harun ar-Rasyid berkata, "Aku mendengar Bisyr al-Murisi mengklaim bahwa al-Qur'an adalah makhluk. Jika aku berhasil menangkapnya maka aku berjanji kepada Alloh untuk membunuhnya dengan cara yang tidak pernah dilakukan sebelumnya.(Abdullah bin Ahmad as-Sunnah).

Sepanjang sejarah telah terjadi berbagai peristiwa pengkafiran, pembunuhan, dan penyaliban terhadap orang-orang zindiq (atheis) dan gembong-gembong ahli bid'ah ekstrim, seperti pembunuhan terhadap al-Ja'd bin Dirham, Jahm bin Shafwan dan Husain bin Manshur al-Hallaj.

Demikianlah metode para imam terkemuka dalam menghadapi gembong-gembong kesesatan dan zindiq. Kita dapati Abul Abbas Ibnu Taimiyah mengkritik si zindiq Ibnul 'Arabi yang berkeyakinan hulul (pemahaman bahwa Alloh menitis kepada makhluknya.pent) secara khusus. Dia juga menulis kitab berjudul Minhaj as-Sunnah khusus untuk membantah si Rafidhah Abu Manshur al-Hulli dan juga menulis beberapa risalah yang membantah si penyembah kubur al-Bakri al-Mishri serta para juru dakwah sesat lain.

Metode ini juga kita dapati jelas pada diri Imam Muhammad bin Abdul Wahhab dan para muridnya. Mereka tidak membiarkan satu kesempatan pun kecuali membongkar kedok orang-orang zindiq penyeruh kesyirikan yang bembela-bela orang-orang musyrik lagi berdusta atas ahli tauhid seperti Ibnu 'Afaliq, Ibnu Fairuz, anak-anak Muwais, Ibnu Jirjis dan orang-orang seperti mereka. Bahkan sebagian muridnya menulis ensiklopedia bantahan lengkap di samping juga risalah-risalah khusus dan banyak fatwa.

Mengkritik dan menyingkap kedok ahli bid'ah dan orang-orang zindiq serta menghukumi mereka dengan hukum yang layak adalah manhaj otentik dari Ahlussunnah wal Jama'ah. Terlebih lagi terhadap ulama thaghut dan Jahmiyah kontenporer yang menggiring manusia kepada kekafiran dan kesyirikan, berujung pada neraka Jahanam. Mereka telah menyembunyikan kebenaran, memoles kebatilan dan menipu manusia. Kita memohon pertolongan Alloh dalam membongkar kedok mereka dan menyajikan wajah yang sesungguhnya kepada manusia.

Wallahu A'lam

#cp@apelmerah@Majalah Rumiyah edisi 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Posting Unggulan

Mengenali Tauhid

Bismillaahi rahmaani rahiim... Tauhid adalah dasar Islam, pondasi agama yang paling agung yang harus diketahui oleh setiap orang yang me...