Orang yang hidup dan sudah mendengar adanya Nabi yang diutus, atau adanya seorang Da’i yang menyampaikan dakwah tauhid ditengah-tengah mereka, dan ia punya tamakkun (peluang/kesempatan) untuk berusaha mengetahui, maka orang seperti ini #tidak diudzur jika ia menolak Islam atau melakukan dosa syirik akbar.
Disini kita sebutkan ada 3 makna tegak hujjah. Mendengar, al balagh (sampai), dan tamakkun (peluang/kesempatan).
1. Mendengar.
Dalam shahih Muslim Rasulullah bersabda: “Tidak seorangpun yang mendengar keberadaanku, baik Nasrani maupun Yahudi, dan dia tidak beriman dengan apa yang aku bawa, melainkan dia termasuk penghuni Neraka.”
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:
“Dan Allah mengkhitabi semua jin dan manusia dengan Al Qur’an sebagaimana firman-Nya:
“Supaya dengannya aku memberikan peringatan kepada kalian dan (kepada) orang-orang yang sampai Al Qur’an kepadanya.” Maka setiap yang telah sampai kepadanya (Al Qur’an) baik manusia atau jin berarti telah diberi peringatan oleh Rasul dengannya.”(Majmu Al Fatawa : 16/148-149)
Sekedar mendengar adanya Rasul, itu sudah #hujah. Tidak mesti harus mendengar langsung dari lisan Rasul.
Karena diantara manusia ada yang memang sengaja tidak mau mendengarkan al qur’an (hujjah/peringatan).
“Jangan kalian dengar akan Al Qur’an ini dan buat gaduh di dalam (majelis)nya.”
(QS Fushshilat : 26)
(QS Fushshilat : 26)
2. Al Balagh (sampai).
Allah Ta’aala berfirman:
.“Tidak selayaknya bagi Nabi dan orang-orang beriman memintakan ampunan bagi kaum Musyrikin, meskipun mereka itu kerabat dekat.”
(QS At Taubah : 113).
(QS At Taubah : 113).
Ayat ini berkenaan dengan Rasulullah saat meminta izin kepada Allah untuk memintakan ampun bagi ibunya yang wafat sebelum Rasulullah diutus, dan ibunya wafat diatas ajaran kaumnya yang musyrik.
Allah menggolongkan ibu Rasulullah dalam jajaran kaum musyrikin, padahal saat itu masa jahiliyah, belum ada dakwah dan hujjah Risaliyyah.
Allah menggolongkan ibu Rasulullah dalam jajaran kaum musyrikin, padahal saat itu masa jahiliyah, belum ada dakwah dan hujjah Risaliyyah.
Saat itu terjadi kekosongan dakwah. Tapi ada diantara beberapa pendeta yang hidup saat itu yang masih komitmen dengan ajaran tauhid sisa-sisa Agama yang dibawa Nabi Ibrahim.
Dengan adanya pendeta itu-itulah hujjah. Tidak mesti pendeta, atau da’i yang mendatangi orang yang dimaksud, tetapi merekalah yang harus mendatangi Da’i untuk mengetahui ajaran tauhid.
#Jika ada yang bertanya:
bukankah nash-nash ini buat penyembah berhala?, kita katakan:
Bukankah Allah memerintahkan kita memurnikan ibadah hanya kepadaNya saja, tidak mengambil sekutu Tuhan-Tuhan selainNya..?
Siapapun yang mempersekutukan Allah, maka dia masuk dalam bahasan ini. Jika kaidah ini dibakukan yang hanya dikhususkan buat Yahudi, Nasrani dan penyembah berhala saja, berarti umat Islam dibolehkan menyembah selain Allah....?
3. Tamakkun.
Orang yang mempunyai tamakkun, apabila sudah mendengar Nabi, ada Da’i ditengah mereka, ada Al Qur’an ditengah mereka, maka ini lebih tidak diudzur lagi.
Tidak mesti Da’i yang mendatangi mereka, tidak mesti hujjah itu dengan diskusi-diskusi. Dialah yang harus mendatangi da’i, mendatangi ilmu, dan berusaha memahami, mengimani dan mengamalkannya.
👉Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:
👉Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:
“Bukan termasuk syarat penyampaian risalah ini adalah sampainya hal itu kepada setiap mukallaf di dunia ini, namun yang menjadi syarat adalah orang-orang mukallaf itu memiliki kesempatan untuk berusaha menyampaikan dirinya kepada mereka (Da’i), kemudian bila mereka teledor dan tidak berupaya untuk sampainya hal itu kepada mereka padahal sarana-sarana yang mesti ditempuh itu ada, maka keteledoran (tafrith) itu dari mereka, bukan darinya (yang menyampaikannya).
(Ikhtishar Ali Al Khudlair dari Al Fatawa : 28/125, silakan lihat Al Haqaiq)
wallohu a'lam
semoga bermnfaat....
semoga bermnfaat....
#cp @naira mashel