Mata-Media 21
Oleh: Abu Luqman (Mata-Media.Com) –
Kaum Murji’ah kerap menyeru dan melarang kaum Muslimin untuk memberontak terhadap para penguasa Muslim yang dzalim. Mereka berdalih dengan keumuman pendapat mayoritas.
Memang, sejarah kelam kaum Muslimin sejak dahulu banyak terjadi pemberontakan pada penguasa Muslim yang dzalim di masanya yang mengakibatkan banyaknya korban jiwa. Belajar dari sini, banyak pendapat yang memilih untuk bersabar dan tidak memberontak. Hanya saja, kesabaran mereka adalah untuk menghindari kekejaman penguasa dzalim dan sama sekali bukan bentuk pengormatan.
Namun tidak bagi kaum Murji’ah. Mereka menahan diri seraya memberikan penghormatan dan menerima apa saja yang menyenangkan penguasa, entah yang dilakukan para penguasa dzalim itu melanggar syariat Allah Ta’ala atau tidak.
Diantara perbedaan antara penguasa Muslim yang adil dan penguasa Muslim yang dzalim, adalah membedakan kadar pemberian pengormatan dan pengagungan terhadap masing-masing mereka, walaupun syariat telah mengharamkan untuk khuruj (memberontak) dari kedua jenis penguasa ini.
Dari sudut pandang inilah, kaum Murji’ah kontemporer banyak yang tergelincir, sehingga merekapun menyandarkan pada Salaf bahwa mereka menyamakan penghormatan dan pengagungan terhadap mereka (penguasa adil dan penguasa dzalim), tentunya dengan berdalil dengan hujjah-hujjah tersebut (larangan khuruj).
Padahal, pemahaman yang benar adalah, bahwa alasan larangan khuruj atau memberontak terhadap penguasa dzalim itu demi untuk melindungi umat ini agar kedzalimannya tidak bertambah atau melindungi mereka dari kedzalimannya, dan sama sekali bukan karena untuk menghormati dan mengagungkannya.
Adapun kaum Murji’ah kontemporer, maka mereka menyeru agar tidak memberontak kepada penguasa sembari memberikan pujian, penghormatan dan pengagungan terhadap para penguasa dzalim, padahal para Salaf kita menyeru agar tidak memberontak dengan alasan dari sudut pandang keadilan, dan pertimbangan antara maslahat dan mafsadat. (Al-Khurasaainyah Fi Syarhi ‘Aqiidah Ar-Raaziyain, 468)
Lalu bagaimana jika penguasa tersebut Murtad? Namun begitulah bagi kaum Murji’ah, mereka selalu menempatkan dalil bukan pada tempatnya, dan realita bukan pada realitanya.
Seluruh dalil-dalil yang menyeru taat pada penguasa diambil sebagian, namun ditempatkan bukan pada tempatnya, entah mau penguasanya sekuler, nasionalis, kejawen dan Syiah. Entah itu penguasanya menjadikan aturan dan hukum buatan dari manusia, mereka tetap menyandarkannya pada dalil-dalil taat pada penguasa sekalipun sifat-sifat ulil amri itu tidak ada padanya atau sudah batal dengan perkara kekufuran.
Begitulah bagi kaum Murji’ah, tidak ada kamus Kafir bagi mereka. Pembatal Islam hanya dipelajari tapi tidak dipraktekkan. Pembahasan Murtad hanya dihafalkan tapi tidak diamalkan, padahal disekelilingnya sifat-sifat itu sudah ada, dan bukan satu atau dua saja, bahkan lebih dari itu dari berbagai pintu-pintu riddah yang banyak diamalkan manusia dan khususnya para penguasa pada hari ini.
—---------------—
@ibnu sabil
Tidak ada komentar:
Posting Komentar