Selasa, 08 Mei 2018

Ada Apa Dengan Khilafah ?


Khilafah adalah sarana yang Allah berikan kepada kaum muslimin untuk mengimplementasikan Islam secara Kaffah. Selama 13 Abad kaum muslimin berada di bawah naungan khilafah dengan berbagai ragam dan coraknya, mulai dari khulafaur rasyidin, Bani Umayyah, Bani Abbasiyah dan Bani Utsmaniyah.

Namun sungguh mengherankan, belakangan ini di negara yang katanya umat Islam terbesar sedunia, ide khilafah mulai dikriminalisasi, bahkan pada tahap yang ekstrim, setiap yang mengusung ide khilafah diindikasikan sebagai teroris. Padahal khilafah adalah konsep tata negara Islam yang menjadi cita-cita, bahkan kewajiban umat Islam.

Agaknya absennya khilafah selama hampir satu abad dari realitas umat Islam membuat pemahaman akan khilafah itu mulai memudar. Sehingga banyak sekali tudingan-tudingan miring, pandangan skeptis bahkan curiga terhadap ide khilafah. Sebenarnya apa sih itu khilafah ? Seperti apa hukum dan kedudukannya di tengah-tengah umat Islam ?


Khilafah dalam bahasa Arab berasal dari kata khalafa (خلف) yang berarti mengikuti hukum tertentu. Istilah khilafah dalam terminologi Islam merupakan sebab utama Allah menempatkan manusia di muka bumi, guna beribadah kepada-Nya dan menerapkan hukum-hukum yang Allah turunkan melalui para nabi dan rasul-Nya.
Para ulama menyebut lafaz khilafah dengan berbagai sebutan, adakalanya disebut khilafah, imamah, imaroh dan sebutan lainnya. Ibnu Khaldun, menjelaskan bahwa khilafah sama dengan imamah.

Beliau berkata;
وإذ قد بينّا حقيقة هذا المنصب، وأنه نيابة عن صاحب الشريعة، في حفظ الدين وسياسة الدنيا به تسمى خلافة أو إمامة، والقائم به خليفة أو إمام
“Dan telah kami jelaskan hakikat dari jabatan ini. Jabatan ini berfungsi sebagai wakil dari pemilik syariat dalam menjaga agama dan mengatur urusan dunia berdasarkan agama, institusinya bisa disebut khilafah atau imamah. Sementara pemangku jabatannya bisa disebut khalifah atau imam.” [Muqaddimah Ibnu Khaldun, hal 191]

Imam Abul Hasan Al-Mawardi lebih memilih menggunakan diksi imamah, hal ini tergambar dalam defenisi beliau terhadap imamah. Beliau berkata;
الإمامة: موضوعة لخلافة النبوة في حراسة الدين وسياسة الدنيا
“Imamah (Khilafah) adalah sebuah jabatan yang ditetapkan untuk mengganti tugas kenabian dalam menjaga agama dan mengatur urusan dunia berdasarkan agama.” [Al-Ahkam Sulthoniyah, hal 5].
Mirip dengan Imam Al-Mawardi, Imam Haramain Al Juwaini juga menggunakan kata Imamah. Beliau berkata;
رياسة تامة، وزعامة عامة، تتعلق بالخاصة والعامة في مهمات الدين والدنيا مهمتها حفظ الحوزة، ورعاية الرعية، وإقامة الدعوة بالحجة والسيف وكف الحيف والخيف، والانتصاف للمظلومين من الظالمين، واستيفاء الحقوق من الممتنعين وإيفاؤها على المستحقين
_“Imamah adalah kepemimpinan paripurna dan menyeluruh yang berkaitan dengan urusan orang-orang tertentu maupun khalayak secara umum. Tugasnya adalah menjalankan agama dan dunia. Tugasnya berupa menjaga perbatasan, mengatur urusan-urusan rakyat, menegakkan dakwah dengan dalil dan pedang, menghentikan segala bentuk kezaliman dan ancaman, menjadi perantara orang-orang yang terzalimi untuk menuntut haknya atas pihak yang menzalimi, mengambil hak-hak (negara dan orang lain) dari orang yang menahannya dan mendistribusikannya kepada yang berhak.” [Ghiyatsul Umam, hal 22].

Apa yang disebutkan oleh Imam Al-Mawardi bahwa khilafah adalah penerus tugas kenabian, nampaknya dipahami cukup baik oleh seorang Abu Bakar Ash-Shiddiq. Hal ini tercermin pada apa yang pertama kali Beliau Radhiyallahu 'anhu lakukan pasca terpilih menjadi khalifah 3 hari pasca wafatnya Rasul.
Beliau langsung menugaskan gugus tugas pasukan yang dikomandoi oleh Usamah bin Zaid. Pasukan Usamah ini pada awalnya diberangkatkan oleh Nabi, beberapa saat sebelum beliau wafat, namun pasukan ini kembali lagi ke Madinah setelah mendengar kabar wafatnya Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi Wa sallam.
Apa yang dilakukan oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq merupakan potret nyata yang menggambarkan tugas seorang khalifah. Di awal terpilihnya menjadi khalifah, seorang Abu Bakar juga berdiri di hadapan kaum muslimin menegaskan pentingnya mengambil hak (zakat) dari orang-orang mampu dan mendistribusikannya kepada pihak yang berhak. Yang mana ini adalah salah satu poin tugas khalifah yang disebutkan oleh Al-Juwaini di dalam Ghiyatsul Umam.

Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa khilafah adalah sistem tata kelola negara bagi umat Islam yang telah dicontohkan oleh Nabi dan para khulafaur Rasyidin. Kalau Ibnu Khaldun dan Imam Al Mawardi menyebutkan tugas khalifah secara umum yaitu menjaga agama dan mengatur urusan dunia dengan agama, tidak demikian dengan Imam Haramain Al Juwaini yang menyebutkan tugas-tugas umum seorang imam.

Kedudukan Khilafah di Mata Umat Islam

Kehadiran Khilafah adalah sebuah hal yang penting bagi keberlangsungan hidup kaum muslimin. Karena tidak mungkin Islam terealisasi secara sempurna kecuali dengan adanya khilafah. Sebuah atsar yang cukup masyhur dari Utsman bin Affan yang menekankan akan pentingnya kekhalifahan. Beliau berkata;
إن الله ليزع – أي ليردع – بالسلطان مالا يزع بالقرآن
“Sesungguhnya Allah mengubah dengan kekuasaan apa-apa yang tidak mampu diubah dengan Al-Quran.”

Kedaulatan Al-Quran harus berjalan bersama dengan kekuasaan. Karena kekuasaanlah yang nanti akan menjaga Al-Quran, menerapkannya ditengah manusia, dan menjamin terlaksananya Islam secara Kaffah  di tengah kaum muslimin. Keduanya berjalan beriringan dan saling menguatkan, jika salah satu tidak hadir, maka bisa dipastikan terjadinya kemunduran bagi umat Islam. Karena kekuatan yang tidak dibimbing Al-Quran akan menghasilkan kezaliman demi kezaliman, sementara Al-Quran yang tidak ditopang oleh kekuatan akan lemah dan tidak memiliki izzah.

Prinsip ini disebut oleh Allah Subhanahu Wa Ta'ala di dalam surat Al Hadid, Allah berfirman,
{لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنزلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيزَانَ لِيَقُومَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ وَأَنزلْنَا الْحَدِيدَ فِيهِ بَأْسٌ شَدِيدٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَلِيَعْلَمَ اللَّهُ مَنْ يَنْصُرُهُ وَرُسُلَهُ بِالْغَيْبِ إِنَّ اللَّهَ قَوِيٌّ عَزِيزٌ
“Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia, (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)Nya dan rasul-rasul-Nya padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” (Al-Hadid : 25)

Mengomentari ayat ini Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata;
فَأَخْبَرَ أَنَّهُ أَنْزَلَ الْكِتَابَ وَالْمِيزَانَ لِيَقُومَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ وَأَنَّهُ أَنْزَلَ الْحَدِيدَ كَمَا ذَكَرَهُ . فَقِوَامُ الدِّينِ بِالْكِتَابِ الْهَادِي وَالسَّيْفِ النَّاصِرِ
“Allah Subhanahu Wa Ta'ala menurutkan Kitab dan mizan (keadilan) dan Allah juga menurunkan besi sebagai mana disebutkan. Maka tegaknya agama ini harus berlandaskan Al-Quran sebagai petunjuk dan pedang (kekuasaan) sebagai penjaganya.” [Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah 28/232]

Urgensi khilafah juga terlihat dari apa yang dilakukan oleh para sahabat sesaat setelah Rasul wafat. Kaum Anshar menggelar pertemuan di Saqifah Bani Sa’idah untuk menunjuk pengganti tugas-tugas Rasul dalam mengatur agama dan dunia kaum muslimin.
Pertemuan itu didengar oleh sahabat Muhajirin. Akhirnya berangkatlah beberapa orang Muhajirin ke Saqifah Bani Sa’idah di antaranya Umar bin Khottob dan Abu Bakar Ash-Shiddiq. Perdebatan tentang siapa pengganti Rasul terjadi, pada awalnya kaum Anshor bersikukuh agar pengganti tugas Rasul harus dari kalangan mereka. Abu Bakar Ash-Shiddiq mengingatkan mereka bahwa urusan kekhalifahan (pada kondisi ideal) haruslah dipegang oleh orang Quraisy.

Setelah bangsa Anshar dapat memahami hal itu, Abu Bakar Ash-Shiddiq mengajukan Umar dan satu kandidat lain dari muhajirin untuk dipilih oleh kaum muslimin. Namun yang terjadi malah sebaliknya, Umar menggapai tangan Abu Bakar dan membaiatnya. Pembaiatan ini disetujui oleh kaum muslimin.

Hal yang menunjukkan pentingnya khilafah adalah para sahabat mendahulukan pemilihan khalifah dari menguburkan jasad Nabi, padahal Nabi menganjurkan umatnya untuk menyegerakan pengurusan jenazah.
Ibnu Khaldun menyebutkan bahwa mengangkat seorang khalifah hukumnya wajib dan merupakan ijma (konsensus) kaum muslimin, beliau berkata;
"Mengangkat seorang imam (khalifah) hukumnya wajib, dasar kewajibannya adalah ijma para sahabat dan tabi’in. Karena para sahabat Radhiyallahu 'anhu bersegera membaiat Abu Bakar dan menyerahkan kepada Abu Bakar untuk megurus urusan mereka.”
[Al Mukaddimah, hal 91]

Imam Al-Ghazali yang sangat masyhur dengan kitab Ihya’ Ulumuddinnya, juga ikut berkomentar dalam hal ini, beliau berkata;
“Kekuasaan adalah hal yang penting dalam mengatur urusan din (agama) dan dunia. Pengaturan urusan dunia penting dalam agama. Pengaturan urusan agama penting agar bahagia di akhirat, inilah tujuan para nabi. Oleh karena itu keberadaan seorang imam (khalifah) merupakan kebutuhan syar’i yang paling mendesak yang tidak boleh ditinggalkan.” [Al Iqtishod fil I’tiqad, hal 199]

Umat Islam Dunia dan Indonesia Menanggapi Runtuhnya Khilafah

Urgensi khilafah bagi umat Islam juga nampak pada masa sebelum runtuhnya khilafah Utsmaniyah dan pasca runtuhnya. Dr. Hakim Al Mathiri di dalam tulisan beliau yang berjudul “Ma’alimud Daulah Ar Rasyidah” menukil beberapa tulisan dari Syaikh Rasyid Ridho.
Beliau adalah orang yang mendapati dan mengamati upaya-upaya musuh Islam (terkhusus Inggris) dalam meruntuhkan khilafah. Beliau juga mendapati juga era pasca khilafah. Beliau pernah berkata di salah satu tulisannya, “Kaum muslimin tidak terlalu khawatir jika masjidil harom dihancurkan, atau dilarang sholat dan haji di dalamnya. Akan tetapi kekhawatiran terbesar umat Islam adalah terhadap (runtuhnya) khilafah. Yang mana mereka mempercayai bahwa tidak ada lagi eksistensi Islam tanpa khilafah. Keinginan kuat mereka agar khilafah tetap tagak telah menyatu di dalam darah dan urat saraf mereka.”

Syaikh Rasyid Ridho melanjutkan, “Mereka (umat Islam) beranggapan bahwa din mereka tidak akan eksis tanpa adanya negara Islam merdeka, kuat dan mampu menerapkan syariat-syariatnya tanpa ada hadangan dan dikte dari pihak Asing.” [Risalatul Khilafah 126-127]

Pasca runtuhnya khilafah Turki Utsmani, salah seorang pengajar di Al-Azhar yang bernama Ali Abdurraziq menulis buku yang berjudul “Al-Islam Wa Ushulul Hukm” (Islam dan Dasar Hukum). Di buku tersebut penulis menyebutkan bahwa Islam bukanlah agama yang mewajibkan umatnya untuk berkuasa dan bernegara.
Terang saja buku tersebut mendapat penolakan dari para ulama masa itu. Grand Mufti Al Azhar saat itu Muhammad Khidr Husain menulis sebuah risalah yang membantah kesesatan Ali Abdurraziq. Syaikhul Islam Terakhir Turki, Musthofa Shobri juga turut membantah pemikiran Ali Abdurraziq. Dr Abdurrazzaq As-Sinhuri juga turut membantah pemikiran tersebut dalam sebuah buku beliau yang berjudul Fiqhul Khilafah.

Tidak hanya sebatas kajian ilmiyah tentang khilafah, para ulama juga mengadakan muktamar untuk mengembalikan lagi khilafah Islam. Muktamar diadakan di Mesir pada tahun 1926. Muktamar yang diikuti para ulama dunia itu menghasilkan rumusan-rumusan dan rekomendasi bagi umat Islam guna mengembalikan khilafah.
Ternyata umat Islam di Indonesia juga memberikan respon atas keruntuhan khilafah Turki Utsmani. Prof. Deliar Noer dalam disertasinya, The Modernist Muslim Movement in Indonesia 1900-1942 (Cornell University, 1962), menyatakan bahwa umat Islam di Indonesia tidak hanya berminat dalam masalah khilafah, tetapi juga merasa berkewajiban memperbincangkan dan mencari penyelesaiannya.

Lalu Prof. Aqib Suminto dalam disertasinya, Politik Islam Hindia Belanda (IAIN Jakarta, 1985), menuturkan tentang pengaruh Pan-Islamisme di Indonesia dalam perjuangan khilafah saat itu. Dia menyatakan ada kaitan yang erat antara paham Pan-Islamisme dan jabatan Khalifah karena Khalifah merupakan simbol persatuan umat Islam di seluruh belahan dunia.
Bahkan hal senada juga diungkapkan oleh seorang orientalis Belanda, Martin van Bruinessen, dalam jurnal ilmiahnya yang berjudul Muslim of Dutch East Indies and The Caliphate Question (Studia Islamika, 1995). Peristiwa penghapusan Turki Usmani yang kemudian disusul seruan ulama al-Azhar untuk memilih khalifah baru, dan penaklukan Hijaz oleh Ibn Sa’ud, mendapatkan antusiasme yang sangat besar dari umat Islam Indonesia sehingga menimbulkan pergerakan yang masif di Indonesia. Menurut arsip Pemerintah Kerajaan Belanda, seperti dikutip van Bruinessen, hal itu bahkan dianggap sebagai “sebuah tonggak bersejarah dalam pergerakan umat Islam di negeri ini”. (Sumber : Jejakislam.net)

Jika secara ilmu dan khazanah para ulama Islam memerintahkan umatnya untuk bernegara berdasarkan aturan Islam atau khilafah. Secara sejarah umat islam Indonesia juga memiliki ikatan dan kaitan yang tidak bisa lepas dari khilafah, maka apakah pantas ide khilafah dikriminalisasikan?
Wallahu a’lam bisshowab

Penulis : Aiman
Editor : Arju
#cp@osama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Posting Unggulan

Mengenali Tauhid

Bismillaahi rahmaani rahiim... Tauhid adalah dasar Islam, pondasi agama yang paling agung yang harus diketahui oleh setiap orang yang me...