Kamis, 14 Juni 2018

Bilal Berkisah Tentang Pelarian Nabi Ke Madinah

The Manuscript of Bilal ibn Rabah – H.A.L. Craig

Pada perjalanan Hijrah, sesungguhnya kami masih memiliki perasaan takut yang tidak kami sadari. Hari keenam perjalanan itu, Hamzah menemui kami. Dia berkuda melintasi gurun. Kehadirannya menentramkan rasa takut kami dari ancaman kawanan singa, mengobati kelelahan badan dan hati kami, melindungi dan menuntun perjalanan kami. Dia membawa berita yang tak ingin kudengar – Nabi memutuskan untuk tetap tinggal di Makkah sampai semua pengikutnya berangkat.

Muhammad [Shallallāhu ‘Alaihi Wasallām] tentunya berhasil menjauhkan kami dari ancaman mereka. Bagi penguasa Makkah, bila ratu lebah sudah di tangan, peduli apa dengan lebah lainnya? Muhammad [Shallallāhu ‘Alaihi Wasallām] berlenggang dengan terbuka di hadapan mata musuhnya dan para pembunuhnya, ini artinya undangan bagi mereka untuk membunuh Nabi, sedangkan kami bergegas mencari keselamatan. Tindakan kepahlawanannya, seakan-akan turun dari langit.

Beberapa minggu berlalu sebelum kami mendengar seluruh kejadiannya. Namun urutan kisahku menentukan bahwa sekaranglah saatnya kuceritakan padamu.

Para penguasa Makkah merencanakan untuk membunuh Muhammad [Shallallāhu ‘Alaihi Wasallām], suatu rencana yang diputuskan bersama seluruh kaum cendikiawan. Mereka bermaksud membunuh sekaligus mencuci tangan kotor mereka dalam bejana darah yang sama – suatu tindakan kriminal yang licik yang sering dilakukan lembaga penguasa.


Tujuh orang laki-laki muda dari tujuh suku dilengkapi dengan tujuh tombak akan ditikamkan ke tubuh Muhammad [Shallallāhu ‘Alaihi Wasallām], satu tikaman bagi satu tombak. Karena tiap tombak dipegang oleh seseorang dari masing-masing suku yang berbeda, maka tak satu suku pun yang bertanggung jawab terhadap pembunuhan itu dan tak seorang pun yang akan menyelidikinya, begitulah biasanya. Tetesan darah yang mengalir tujuh kali tak mudah untuk dibalas. Jadi lebih mudah untuk membersihkannya.

Penyelesaian dengan tujuh buah tombak memang teramat licik, dan seperti yang pernah kudengar bahwa iblislah yang mengusulkannya. Ia ikut berembuk bersama penguasa Makkah dengan menyamar menjadi salah seorang dari mereka. Namun aku takkan terperdaya dengan cerita itu. Iblis senang sekali menyamar sebagai manusia dan berbaur di dalamnya. Ia sulit untuk diduga. Ia mungkin terlalu serius atau justru kurang serius, ia mungkin terlalu licin atau justru sangat kaku…peraturannya ia harus menjaga Neraka namun ia senantiasa berlalu-lalang di muka bumi dengan berbagai rupa. Makanya kita harus mengetahui tipu dayanya. Pastilah ia pelaku sandiwara yang turun dari langit.

Baik iblis maupun saudagar keduanya gagal. Tombak-tombak sudah direntang namun tak ada satu hunjaman pun. Pada suatu malam tujuh orang laki-laki serentak masuk ke kamar Nabi dan mereka duga bahwa Nabi sedang tidur pulas. Namun Nabi lolos dari bencana itu karena ia meminta Ali, saudara sepupunya, untuk menggantikan di tempat tidurnya. Ali yang kukenal adalah orang yang sangat rendah hati, memperlihatkan senyumnya kepada mereka, sekalipun ia berada di tempat tidur Nabi yang ditinggalkannya.

Muhammad [Shallallāhu ‘Alaihi Wasallām] telah berada di luar kota Makkah, namun bahaya masih mengancamnya. Abu Sufyan menawarkan seratus ekor unta bagi siapa yang dapat membawa pulang Muhammad [Shallallāhu ‘Alaihi Wasallām] hidup atau mati ke Makkah. Kuda dan unta serentak disiapkan, kesibukan yang luar biasa memasang pelana dan perlengkapan lainnya. Seratus ekor unta adalah tawaran yang menggairahkan…disamping keasyikan tersendiri bagi para pemburu. Sebagai bekas budak aku merasakan ini suatu kesenangan di atas penderitaan, perburuan yang paling liar yang dilakukan manusia terhadap sesama manusia. Tak ada perburuan liar atau binatang buas yang memberinya kepuasan yang sangat besar selain sepasang kaki, daging dan darahnya sendiri….seperti Namrud, yang memburu dirinya sendiri hanya untuk masuk Neraka.

Muhammad [Shallallāhu ‘Alaihi Wasallām] cukup cerdik, ia tak mencoba lari ke Madinah melintasi gurun terbuka. Secepat Abu Sufyan menebarkan jaring manusia, gurun pasir menjadi padang maut bagi Muhammad [Shallallāhu ‘Alaihi Wasallām]. Sesungguhnya ALLAH menuntun dia ke Madinah melalui jalan yang berlawanan arah, dan menyembunyikannya di dalam sebuah gua di gunung Tsur bersama Abu Bakar. Sebagaimana dituturkan dalam Al Qur’ān, “ALLAH Maha Perencana.”

Namun seratus ekor unta adalah hidangan yang terlalu menggoda untuk dibiarkan. Nasib cukup malang karena saat itu Makkah memiliki seorang pencari jejak dari Abesinia yang berkulit hitam seperti aku, yang dikenal sangat memahami seluk beluk gurun pasir. Kata mereka, ia mampu menjejaki burung di langit melalui hirupan udara, dan mengikuti jejak kaki di atas karang terjal. Teman-temannya bahkan menjulukinya seekor babi yang dapat melihat tiupan angin. Ketika semua orang pergi ke arah Madinah, sang jenius ini berpendapat sebaliknya, “Lihat, Muhammad membuat jejaknya, bukan aku,” katanya. Keterampilannya menuntun dia ke gerbang gua gunung Tsur. Kemudian ia mengangkat bahu dan duduk merebahkan diri – ia telah merampungkan tugasnya, orang lainlah yang akan melakukan pembunuhannya.

Umayah, Abu Jahal, dan para pemburunya berada di mulut gua.

“Berakhirlah riwayat kita,” desah Abu Bakar. “Mereka berdua puluh sedang kita cuma berdua.”

“Engkau keliru,” bisik Nabi. “ALLAH senantiasa beserta kita. engkau, aku, dan Dia…oleh karena itu kita bertiga.”

Pada saat itulah seekor laba-laba melayang ke bawah dan membangun sarangnya di mulut gua, di saat itu pula sepasang burung dara berwarna putih dengan ranting di paruhnya mulai pula membangun sarangnya di sana. Muhammad [Shallallāhu ‘Alaihi Wasallām] dan Abu Bakar mengendap-endap di dalam kegelapan gua, namun tak ada alasan bagi makhluk ALLAH sekalipun kecil untuk merasa takut.

Kemudian Umayah, bekas majikanku, datang menghampiri batu karang dengan pedang terhunus dan seperti biasanya, ia seorang pengecut. burung-burung segera terbang, dan laba-laba menghilang di antara celah dinding gua. Namun hasil karya makhluk itu terlihat oleh Umayah…suatu bukti yang teramat jelas. Tak ada manusia yang bisa masuk tanpa merusak jaring laba-laba, dan burung takkan bersarang jika ada pengganggu di sana. Umayah sangat jengkel terhadap si pencari jejak itu, kemudian ia pergi dengan menaiki kudanya. Pencari jejak pun pergi menuruti jalannya, dan sebagaimana kabar yang sampai padaku, sejak itu ia tak mau lagi menjejaki manusia.

Mungkin semua ini kejadian alami…laba-laba hendak membuat jaring-jaringnya, dan sepasang burung dara hendak membangun sarangnya. Namun saat itu nasib Rasulullāh berayun-ayun pada benang laba-laba, dan kelangsungan agama di kepakan sayap sepasang burung dara.

ALLAH melindungi Muhammad [Shallallāhu ‘Alaihi Wasallām] dan Abu Bakar tinggal di dalam gua, selama tiga hari sampai para pemburu merasa yakin akan kesia-siaan usahanya. Di malam keempat seorang badui, penyembah berhala bernama Arqat, yang mengenal daerah lengang yang jarang dilalui orang di gurun, membawa kepada mereka dua ekor unta tunggangan dan sekantung makanan. Nabi, sahabatnya, dan Arqat menuruni gunung menyusuri kegelapan malam, berjalan dengan pelan-pelan ke arah barat, arah yang masih jauh dari Madinah. Setelah dua hari perjalanan, hampir sebatas pandang dengan Laut Merah, mereka membuat jalan setengah lingkaran lebar menuju utara, menghindari jalur perjalanan yang sudah dikenali. Namun masih juga seorang pengejar berhasil menemukan mereka, namun ALLAH menjadikan kudanya, kuda jantan terbaik di jazirah Arab, rubuh tersungkur.

Kami senantiasa menantinya. Setiap pagi kami berduyun-duyun pergi ke batas kota menuju gurun, namun matahari selalu saja menghalau kami untuk kembali setelah berjam-jam dalam penantian. Hari itu adalah hari yang paling terik, tak seorang pun mampu bekerja berlama-lama dan di saat itu para pengelana pun harus menghentikan dulu perjalanannya, berteduh di bawah tenda, menunggu matahari condong letaknya. Seminggu lamanya, sebagaimana yang masih sangat kuingat, kami berbicara hanya dengan berbisik-bisik.

Ketika matahari tengah hari baru saja bergeser, tiba-tiba terdengar seseorang berteriak dan orang-orang pun berlarian. Yang pertama melihat mereka adalah orang Yahudi, “Segala Puji bagi ALLAH” yang memberi ketajaman penglihatan. Di kejauhan nampak tiga sosok manusia di atas untanya yang terseok-seok, dengan langkah satu-satu, di bawah panggangan terik matahari yang garang. Kami berlari menembus gurun tersandung, terjatuh, tertawa dalam kegembiraan disertai lambaian daun kurma, menembus gurun menyambut mereka, sambil berteriak penuh kemenangan. Rasulullāh telah sampai di kotanya.

Dalam sejarah agama terdapat dua perjalanan besar: Exodus, yaitu pengungsian kaum Yahudi dari Mesir, dan Hijrah, pengungsian kami dari Makkah. Jika sampai ada yang ketiga, aku tak mampu membayangkannya. Hijrah menyelamatkan Islām dari para penganiayanya.

Nabi memasuki kotanya pada tanggal 28 Juni 622 Masehi, atau tahun 4382 dalam penanggalan Yahudi kuno. Namun bagi kami, Hijrah adalah awal kalender kami, awal penanggalan Islām. Hijrah terjadi pada Tahun Satu.

#cp@agungwitjaksono

Posting Unggulan

Mengenali Tauhid

Bismillaahi rahmaani rahiim... Tauhid adalah dasar Islam, pondasi agama yang paling agung yang harus diketahui oleh setiap orang yang me...