Kamis, 21 Februari 2019

Demokerasi = Fitnah Yang Lebih Kejam Dari Pada Pembunuhan


SIKAP MUSLIM TERHADAP DEMOKERASI & MAJLIS-MAJLISNYA.

Demokrasi adalah Fitnah yang lebih besar daripada pembunuhan, dan Bagaimana sikap kita terhadap fitnah ini.

Terdapat sebuah ungkapan:
ﻛﻴﻒ ﻳﺘﻘﻲ ﻣﻦ ﻻ ﻳﺪﺭﻱ ﻣﺎ ﻳﺘﻘﻲ
“Bagaimana seseorang bisa menjaga diri dari suatu bahaya, jika ia tidak mengetahui bahaya apa yang ia harus menjaga diri darinya?”
Jika telah diketahui hakikat demokerasi dan faham dibalik istilah demokerasi, yakni sebagai sistem yang memberikan hak /kewenangan membuat dan menetapkan hukum di tangan manusia (suara mayoritas /rakyat melalui "wakil2"nya di parlemen). Dan telah diketahui pula bahwa ini hal ini bertentangan dengan Islam yang menyatakan bahwa kewenangan membuat hukum adalah hak Alloh semata, dan karenanya Demokerasi dihukumi sebagai sistem syirik lagi kufur.
Demokerasi adalah Fitnah, Fitnah dalam makna sebagaimana terdapat dalam ayat:
ﻭَﺍﻟْﻔِﺘْﻨَﺔُ ﺃَﺷَﺪُّ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻘَﺘْﻞِ
"Dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan. (Al-Baqarah: 191)
ﻭَﺍﻟْﻔِﺘْﻨَﺔُ ﺃَﻛْﺒَﺮُ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻘَﺘْﻞِ
"Dan fitnah itu lebih besar (dosanya) daripada pembunuhan." (Al-Baqarah: 217).

Kata Al-Fitnah dalam kedua ayat ini sebagaimana disebutkan dalam kitab2 tafsir adalah bermakna Kesyirikan. Dan dikatakan dalam ayat tersebut bahwa al-fitnah yakni kesyirikan itu lebih besar daripada pembunuhan.
Kesyirikan Demokrasi adalah syirik hukum /syirik dustur, dan ini levelnya sama dengan kesyirikan syirkul-qubur dan penyembahan berhala, yakni kesyirikan akbar. (Lihat Tafsir Al-Adhwaul-Bayaan, Syaikh Asy-Syinqithi rahimahullah).
Fitnah kesyirikan demokerasi adalah fitnah terbesar dan dominan saat ini yang melahirkan kembali fitnah2 kesyirikan lainnya.
Dan sikap muslim terhadap fitnah apapun bentuknya adalah menjauhi dan meninggalkannya. Bukan malah menyongsongnya dan turut serta berpartisipasi di dalamnya dengan alasan dan tujuan yang disangkanya adalah baik. Apakah kita bisa menjamin akan selamat darinya?
Disebutkan dalam sebuah hadits, tatkala Dajjal keluar sebagai fitnah terbesar di akhir zaman nanti, Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengajarkan umatnya agar menjauh darinya, menghindar dari fitnahnya. Beliau bersabda:

ﻣَﻦْ ﺳَﻤِﻊَ ﺑِﺎﻟﺪَّﺟَّﺎﻝِ ﻓَﻠْﻴَﻨْﺄَ ﻋَﻨْﻪُ ﻓَﻮَﺍﻟﻠَّﻪِ ﺇِﻥَّ ﺍﻟﺮَّﺟُﻞَ ﻟَﻴَﺄْﺗِﻴﻪِ ﻭَﻫُﻮَ ﻳَﺤْﺴِﺐُ ﺃَﻧَّﻪُ ﻣُﺆْﻣِﻦٌ ﻓَﻴَﺘَّﺒِﻌُﻪُ ﻣِﻤَّﺎ ﻳَﺒْﻌَﺚُ ﺑِﻪِ ﻣِﻦْ ﺍﻟﺸُّﺒُﻬَﺎﺕِ ﺃَﻭْ ﻟِﻤَﺎ ﻳَﺒْﻌَﺚُ ﺑِﻪِ ﻣِﻦْ ﺍﻟﺸُّﺒُﻬَﺎﺕِ

"Barang siapa mendengar kedatangan Dajjal maka hendaklah dia menjauh darinya. Demi Alloh, sesungguhnya seseorang akan mendatanginya-sementara dia menganggap dirinya mukmin dan mampu melawannya- namun akhirnya dia mengikutinya disebabkan berbagai syubuhat yang didatangkannya." (HR. Abu Dawud)
Itulah ajaran Nabi kepada kita saat datangnya Dajjal, fitnah terbesar akhir zaman. Yaitu menjauhinya untuk menyelamatkan diri dan agamanya, agar tidak terjatuh terperosok ke dalamnya. Maka begitu pula sikap kita terhadap fitnah terbesar yang berupa demokerasi saat ini.

Dulu, saat munculnya fitnah berupa filsafat dan ilmu kalam, para 'Ulama kita sangat mewanti2 ummat untuk menjauhinya. Berapa banyak tokoh yg terperosok ke dalamnya karena menerjuninya hingga muncullah faham2 dan kelompok2 sesat seperti mu'tazilah, jabariyah, qadariyah.

Fitnah Demokerasi.

Kita lihat berapa banyak para tokoh dan aktivis kita yang pada awalnya mereka lurus2 saja, dan tiada yang disuarakannya kecuali Syari'at Islam yang tegas menolak syubhat dan mantra syirik demokerasi, berbelok menyuarakan dan menyerukan demokerasi dan syubhat2nya setelah dengan maksud dan alasan yang disangkanya baik menerjunkan diri ke dalam politik praktis demokerasi. Dari yang awalnya ingin mewarnai jadi terwarnai. Hingga ada yg benar2 berkubang di dalamnya.

Maka jauhilah. Inilah sikap muslim yang sesuai petunjuk Nabi terhadap fitnah besar di masanya, termasuk bagi kita yang hidup di era fitnah demokrasi saat ini. Bagaimana agar bisa menghindari fitnah? Maka dengan ilmu, dan keteguhan iman di atas dasar ilmu. Dan semoga Alloh lindungi dan selamatkan kita kaum muslimin dari segala fitnah.

Demokerasi dan Majlis-Majlis Demokerasi adalah "Az-Zuur" dan Sikap Muslim terhadapnya.

Majlis2 Demokrasi yang saya maksud adalah "pesta2" demokerasi yaitu perhelatan pemilu2 demokerasi baik pileg, pilpres, pilgub, pilbup, pilkada, hingga parlemen legislatif.
Semua itu adalah tergolong Az-Zuur (kepalsuan, kebohongan) yang kita dilarang turut "memberikan kesaksian" di dalamnya dengan menghadiri majelis2nya dan berpartisipasi di dalamnya. Sebagaimana terdapat dalam firman Alloh tentang kriteria 'IbadurRahman (Hamba2 Ar-Rahman) yang diantaranya disebutkan:
وَٱلَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ ٱلزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِٱللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا
"Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya." (Al-Furqaan: 72)

Mengapa termasuk Az-Zuura?

Lafazh "Az-Zuura" (kepalsuan, kedustaan) dalam ayat  الذين لا يشهدون الزور  di ayat tersebut memiliki banyak makna sebagaimana disebutkan di dalam Tafsir Ibnu Katsir.
Makna Az-Zuur yang pertama beliau sebutkan adalah: "..makna yang dimaksud adalah tidak pernah berbuat kemusyrikan dan tidak pernah menyembah berhala..", dan makna2 lainnya yang beliau nukil dari perkataan sahabat, tabi'in, dst. Hingga perkataan beliau, "Akan tetapi, menurut makna lahiriah nash ayat ini menunjukkan bahwa makna yang dimaksud ialah tidak menghadiri hal-hal yang berdosa. Karena itulah disebutkan dalam firman selanjutnya.."
Demikian pula Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah di dalam kitabnya, Iqtidhaa`ush-Shiraathil-Mustaqiim dalam memaknai Az-Zuura yaitu di antaranya beliau berkata, "..bermakna hari2 raya kaum musyrikin, perayaan2 jaman, dst..", menukil perkataan sahabat, tabi'in dll. Hingga perkataan beliau, "..bahwa yang dimaksud adalah larangan berbuat kesyirikan, dan larangan terhadap (menghadiri) tempat digelarnya kemaksiatan."
Perhatikan, bahwa di antara makna Az-Zuur yang kita sebagai muslim dilarang turut "menjadi saksi" di dalamnya dengan menghadiri dan turut berpartisipasi di dalamnya adalah perbuatan kesyirikan, dosa, kemaksiatan, dan majlis-majlisnya.
Firman selanjutnya di ayat yg sama,
  واذا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا
"dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya."

Disebutkan di dalam Tafsir Ibnu Katsir:
"Yakni mereka tidak mau menghadiri perbuatan yang tidak berfaedah itu, dan apabila secara kebetulan mereka berjumpa dengan orang-orang yang sedang melakukannya, maka mereka lewati saja dan tidak mengotori dirinya dengan sesuatupun dari perbuatan yang berdosa itu (tidak ikut serta di dalamnya)."
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Abul Hasan Al-Ajali, dari Muhammad ibnu Muslim, bahwa Ibrahim ibnu Maisarah telah menceritakan kepadaku bahwa Ibnu Mas'ud pernah bersua dengan orang-orang yang sedang melakukan perbuatan yang tidak berfaedah, maka dia tidak berhenti. Lalu Rasulullah Saw. bersabda:
لَقَدْ أَصْبَحَ ابْنُ مَسْعُودٍ، وَأَمْسَى كَرِيمًا"
"Sesungguhnya Ibnu Mas’ud di pagi hari dan petang harinya menjadi orang yang menjaga kehormatan dirinya." (Tafsir Ibn Katsir).
Apa hubungannya dengan demokerasi dan majelis2 demokrasi? sebagaimana telah diketahui bahwa demokrasi berdasarkan hal atau hakikatnya adalah kesyirikan, syirik hukum. Maka karenanya majelis2 perhelatan demokerasi adalah layak dimasukkan ke dalam makna Az-Zuur yang kita dilarang memberikan persaksian (Laa yasyhaduunaz-zuura) dengan menghadiri perhelatannya dan turut berpartisipasi di dalamnya dengan tidak turut menghadiri dan berpartisipasi di dalam majelis2nya baik dengan mencalonkan diri atau orang lain untuk menjadi anggota parlemennya, ataupun berpartisipasi di dalam "pesta2"nya yang berupa pemilu2 demokrasi baik pileg atau pilpres yang itu adalah sarana yang menuju kepadanya (kepada pengangkatan manusia sebagai pembuat dan penetap hukum atau sebagai pemimpin yang akan memimpin dengan hukum buatan). Dan jika menjumpai atau sedang terjadi perbuatan2 yang tidak berfaedah seperti itu, apalagi yang berbahaya terhadap aqidah, sikap muslim adalah melauinya begitu saja dengan menjaga kehormatan dirinya "marruu kiraamaa" sebagai muslim, tidak turut menghadirinya. Ini salah satu sifat 'IbadurRahman, hamba2 Ar-Rahman. Selengkapnya tentang sifat-sifat 'IbadurRahman bisa dibaca dalam QS. Al-Furqaan ayat 63 - 77. Semoga Alloh jadikan kita termasuk ke dalamnya.
------------------
Demikian kurang lebih di antara sikap muslim terhadap demokrasi dan majelis2 demokrasi.
Wallaahu Ta'aalaa A'lam.

#cp@bocahcilik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Posting Unggulan

Mengenali Tauhid

Bismillaahi rahmaani rahiim... Tauhid adalah dasar Islam, pondasi agama yang paling agung yang harus diketahui oleh setiap orang yang me...