Selasa, 22 Mei 2018

Agar Jangan Dikatakan Di Kalangan Kaum Muslim Tidak Ada Saling Percaya

السلام عليكن ورحمةالله وبركاته.

Allohu Akbar..!!!
“Alloh dan kaum Muslimin jadi saksi bahwa kami memaafkannya.”

Kholifah Umar sedang duduk beralas sorban di dibebayang pohon kurma dekat masjid Nabawi. Sahabat disekelilingnya sedang syura' (rapat) membahas aneka soal.
Tiga orang pemuda datang menhadap. Dua bersaudara berwajah marah yang mengapit pemuda lusuh yang tertunduk dalam belengguan mereka.

"Tegakkan keadilan untuk kami Amirul Mukminin, Qishos-lah pembunuh ayah kami sebagai had atas kejahatannya!"
ujar seorang pengapit.
Umar lalu bangkit meminta si lusuh mengkronologi.

"Aku datang dari pedalaman yang jauh. Kaumku memercayakan berbagai urusan muamalah untuk kuselesaikan di kota ini," ungkapnya.
"Saat sampai" Lanjutnya, "kutambatkan untaku di satu tunggul kurma, lalu kutinggalkan ia. Begitu kembali, aku terkejut dan terpana. tampak olehku seorang laki-laki tua sedang menyembelih untaku di lahan kebunnya yang tampak rusak terinjak tanamannya. Sungguh aku sangat marah dan dengan murka kucabut pedang hingga terbunuhlah si bapak itu. Dialah rupanya ayah kedua saudaraku ini."
"Sesungguhnya yang kalian tuntut ini pemuda sholeh lagi baik budinya," ujar Umar, "
dia membunuh ayah kalian karena kemarahan sesaat.”
“Izinkan aku, meminta kalian untuk memaafkannya dan akulah yang akan membayarkan diyat atas kematian ayahmu,” ujar Umar.


“Maaf, Amirul mukminin, bahkan harta sepenuh bumi dikumpulkan untuk kami, hati kami hanya ridho jika jiwa dibalas dengan jiwa!” ujar penggugat.
“Wahai Amirul mukminin, tegakkanlah hukum Alloh, hanya saja izinkan aku menunaikan semua amanah dan kewajiban yang tertanggung ini. Aku berjanji akan kembali 3 hari dari sekarang untuk menyerahkan jiwaku,” ujar terdakwa.
“Mana bisa begitu!”
teriak penggugat.
“Nak,” ujar Umar, “tak punyakah kau kerabat dan kenalan yang bisa dilimpahi urusan ini?”
“Sayangnya tidak, Amirul mukminin,” ujar si ksatria itu.
“Baik,” sahut Umar, “kau kuberi tangguh 3 hari tapi harus ada seseorang yang menjaminmu.”
“Aku tidak memiliki seorang kerabat di sini,” ujar tergugat.
“Harus ada orang yang menjaminnya! Andai pemuda ini ingkar janji, siapa yang akan gantikan tempat untuk di qishosh?” ujar penggugat.”
“Jadikan aku penjaminnya, hai Amirul mukmini!” ujar Salman al-Farisi dari arah kerumunan.
“Salman?” hardik Umar, “Demi Alloh engkau belum mengenalnya! Jangan main-main dengan urusan ini! Cabut kesediaanmu!”
“Pengenalanku kepadanya, tak beda dengan pengenalanmu, ya Umar,” ujar Salman, “aku percaya kepadanya sebagaimana engkau mempercayainya.”
Dengan berat hati, Umar melepas pemuda itu dan menerima penjaminan yang dilakukan oleh Salman baginya.
Tiga hari berlalu. Detik-detik menjelang eksekusi begitu menegangkan. Pemuda itu belum muncul. Umar gelisah mondar-mandir. Penggugat mendecak kecewa.
Semua hadirin sangat mengkhawatrikan. Mentari nyaris terbenam.
Tapi, Salman dengan tenang dan tawakal melangkah siap ketempat qishosh. Isak pilu tertahan. Tetapi, sesosok bayang berlari terengah dalam temaram, tersoek, dan nyaris merangkak.
“itu dia! Pekik Umar.
Pemuda itu dengan tubuh berkuah peluh dan nafas putus-putus ambruk di pangkuan Umar.
“Maafkan aku,” ujarnya, “hampir terlambat.
Urusan kaumku memakan banyak waktu. Kupacu tungganganku tanpa henti hingga sekarat dan terpaksa kutinggal lalu aku berlari.”
“Demi Alloh,” ujar Umar sambil menenangkan dan memberinya minum,
“bukankah engkau bisa lari dari hukuman ini? Mengapa susah payah kembali?”
“Supaya jangan sampai ada yang mengatakan, “ujar terdakwa dalam senyum, di kalangan kaum Muslimin tak ada lagi ksatria tepat janji.”
“Lalu kau Salaman,” ujar Umar berkaca-kaca, “mengapa mau jadi penjamin seseorang yang tak kau kenal sama sekali?”
“Agar jangan sampai dikatakan,” jawab Salman teguh,” di kalangan kaum Muslimin tak ada lagi saling percaya dan menanggung beban saudaranya.”
“Allohu Akbar!” pekik dua pemuda penggugat sambil memeluk terdakwa,
“Alloh dan kaum Muslimin jadi saksi bahwa kami memaafkannya.”
“Kalian memaafkannya ? Umar makin haru, “jadi dia tidak di qishosh? Allohu Akbar! Mengapa?
“Agar jangan ada yang merasa , “sahut keduanya masih terisak, “di kalangan kaum Muslimin taka ada lagi kemaafan dan kasih sayang.”
Subhannalloh....!!
Semoga kisah ini menjadi ibroh untuk kita semua dalam membuktikan keyakinan kita, bahwa Mukmin itu bersaudara..!!

#cp @sella selly

Posting Unggulan

Mengenali Tauhid

Bismillaahi rahmaani rahiim... Tauhid adalah dasar Islam, pondasi agama yang paling agung yang harus diketahui oleh setiap orang yang me...