Rabu, 06 Maret 2019

Kenapa Harus Khilafah ?

Cara Khilafah Menjaga Persatuan Dan Kesatuan


Persatuan dan kesatuan bisa diidentikkan dengan:
Pertama, bersatunya umat manusia dalam satu ikatan. Inilah yang disebut persatuan.
Kedua, satu wilayah, yang menjadi tempat bersatunya umat manusia.
Dalam konteks yang pertama, yaitu persatuan, ikatan yang bisa mengikat manusia memang banyak.
Ada ikatan Nasionalisme dan Patriotisme, ada ikatan kemaslahatan [kepentingan], ada ikatan spiritual tanpa sistem, dan ada ikatan ideologi. Nasioalisme dan Patriotisme adalah ikatan yang paling rapuh, karena terbentuk ketika ada ancaman.
Ketika ancaman yang mengancamnya tidak ada, maka ikatan ini melemah, bahkan pudar. Kepentingan juga begitu, sangat mudah pudar, dan cenderung berubah. Begitu juga ikatan spiritual, tanpa sistem. Maka, satu-satunya yang kuat adalah ikatan ideologi.
Di dunia ini hanya ada tiga ideologi: Islam, Kapitalisme dan Sosialisme. Setelah Sosialisme tumbang, kini tinggal Islam dan Kapitalisme. Namun, dari kedua ideologi tersebut, hanya Islam yang tidak diemban oleh negara dan dijadikan sebagai kepemimpinan berpikir. Sebaliknya, Kapitalisme hingga hari ini diemban dan dijadikan kepemimpinan berpikir umat manusia, hampir di seluruh dunia. Meski ideologi merupakan ikatan yang kuat, tetapi Kapitalisme tetap tidak bisa mewujudkan persatuan. Karena para penganutnya menggunakan maslahat [kepentingan] sebagai standarnya. Karena itu, mereka pun saling tikam demi memperebutkan kepentingan.
Persatuan Hakiki Hanya dengan Islam
Sebagai ideologi, Islam dibangun berdasarkan akidah Islam, dengan standar halal-haram. Terikat sepenuhnya pada hukum Islam adalah metodenya. Mencari ridha Allah SWT adalah nilai ideal hidupnya. Sebagai ideologi, Islam tidak hanya berisi ritual dan spiritual, tetapi juga sistem kehidupan. Mulai dari pemerintahan, ekonomi, sosial, pendidikan, politik dalam dan luar negeri.
Ketika Islam diemban dan dijadikan sebagai kepemimpinan berpikir umat manusia, maka mereka bisa disatukan dengan ikatan ideologi Islam. Meski mereka tidak memeluk Islam. Uniknya, meski diikat dengan ikatan ideologi Islam, tetapi mereka tetap diberi kebebasan memeluk agama mereka, dan sedikit pun tidak akan diusik. Bahkan, meski mereka bukan Muslim, hak dasar mereka dengan Muslim pun sama. Sandang, papan, pangan, pendidikan, kesehatan dan keamanan, semuanya dijamin oleh negara Khilafah, tanpa melihat agama mereka.
Selain itu, akidah Islam adalah satu-satunya pemikiran yang dibangun dengan akal, sesuai dengan fitrah manusia, memuaskan akal dan menentramkan hati. Inilah yang menjadi alasan, mengapa Islam telah berhasil mewujudkan persatuan di seluruh wilayah negara Khilafah, yang meliputi tiga benua; Asia, Afrika dan Eropa, meski suku, ras dan agamanya berbeda-beda. Spanyol adalah contohnya. Penganut Islam, Kristen dan Yahudi hidup berdampingan dalam ikatan ideologi Islam lebih dari 800 tahun.
Karena itu, dijadikannya ideologi Islam sebagai ikatan dan kepemimpinan berpikir bagi umat manusia di sebuah wilayah, dan seluruh dunia, adalah jaminan terwujudnya persatuan yang hakiki, dan kuat di antara mereka. Karena selain akidahnya yang luar biasa, juga standar dan pandangan hidupnya juga khas, yaitu halal-haram, bukan manfaat dan kepentingan. Inilah yang mampu menjadikan Islam sebagai perekat yang sangat kuat di antara umat manusia. Meski agama, suku dan rasnya berbeda. Pada saat yang sama, perbedaan agama, suku dan ras ditolelir dan diberi ruang oleh Islam.
Inilah yang menjadi rahasia, mengapa persatuan bangsa-bangsa yang hidup di bawah naungan Khilafah, yang diikat dengan ideologi Islam bisa bertahan hingga lebih dari 10 abad. Sesuatu yang belum pernah bisa diwujudkan oleh Kapitalisme maupun Sosialisme.

Kesatuan Wilayah dalam Islam.

Masalah kesatuan wilayah ini ada dua:
Pertama, terkait dengan wilayah yang hendak dipecahbelah, melalui gerakan sparatisme.
Kedua, wilayah yang asalnya satu, dan kini sudah terpecahbelah, dan hendak disatukan kembali.

Dua-duanya merupakan konotasi yang dinyatakan oleh nas-nas syara’, sebagaimana dalam hadits Nabi saw. Seperti, “Jika dibai’at dua Khalifah, maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya.” [Hr. Muslim], juga hadits Nabi, “Siapa saja yang membai’at seorang imam [Khalifah], lalu mengulurkan tangan dan meridhainya, maka dia harus mentaatinya semampunya. Jika ada orang lain yang hendak merebutnya, maka penggallah lehernya.” [Hr. Muslim]

Kedua fakta di atas juga sama-sama ada, baik secara historis maupun empiris. Secara historis, wilayah Khilafah pernah meliputi tiga benua; Asia, Afrika dan Eropa. Setelah era kolonialisasi, pada saat yang sama Khilafah ‘Utsmani lemah, sehingga tidak lagi mampu menjaga wilayah-wilayahnya, maka wilayah-wilayah itu pun dibagi-bagi oleh negara-negara Kafir penjajah sebagai jajahan mereka. Setelah era Perang Kemerdekaan dan Perang Dunia II, wilayah-wilayah itu pun merdeka secara fisik dari penjajah, dan menjadi negara merdeka. Meski statusnya tetap merupakan Bilad Islamiyyah [negeri Islam] dan Bilad al-Muslimin [negeri kaum Muslim]. Padahal, asalnya satu wilayah.
Begitu juga, setelah merdeka, seperti kasus Indonesia dan Sudan, wilayahnya pun tetap dikerat-kerat, seperti Sudan Utara dan Selatan yang berhasil dipecah, begitu juga Timor Timur yang berhasil dipisahkan dari Indonesia. Menyusul Papua, Maluku dan Bali. Semuanya ini adalah fakta tentang kesatuan wilayah. Karena itu, dalam pandangan Islam, baik fakta pertama maupun kedua, sama-sama wajib dijaga, dipertahankan, dan direbut kembali jika sudah lepas.
Dalam konteks ini, Rasulullah saw. menyatakan, “Siapa saja yang terbunuh karena membela harta, kehormatan dan agamanya, maka dia mati syahid.” [Hr. at-Tirmidzi]. Sejengkal tanah yang dimiliki adalah harta, apalagi berjengkal-jengkal. Maka, mempertahankannya hingga terbunuh dinyatakan sebagai syahid. Selain itu, perintah Nabi saw. di atas juga menegaskan hal yang serupa. Karena itu, menjaga kesatuan wilayah, baik yang akan dipisahkan, maupun yang sudah dipisahkan, dan hendak direbut kembali, hukumnya wajib.
Tidak hanya itu, Islam telah menetapkan masalah ini sebagai qadhiyyah mashiriyyah [masalah vital], yang harus diselesaikan dengan taruhan nyawa. Dengan cara seperti itu, gerakan sparatisme akan ditumpas habis. Khilafah juga tidak pernah menyelesaikan masalah pemisahkan wilayah ini dengan referendum atau hak menentukan nasib sendiri. Tetapi, akan menghadapinya dengan tindakan politik dan militer, dengan taruhan nyawa. Kesalahan penguasa Indonesia dalam kasus Timtim, dan Sudan dalam kasus Sudan Utara dan Selatan, karena tidak menjadikan masalah sparatisme ini sebagai qadhiyyah mashiriyyah.

Menyatukan Wilayah yang Lepas ?

Wilayah yang dahulunya satu, kemudian lepas menjadi negara-negara merdeka wajib diintegrasikan. Dalam hal ini bisa dilakukan dengan dua cara:
Pertama, mereka sepakat melakukan integrasi.
Kedua, diintegrasikan, baik dengan perjanjian maupun perang.

Hanya saja, dalam proses integrasi tersebut tetap harus memperhatikan kondisi masing-masing wilayah. Jika wilayah tersebut penguasanya menjadi antek, dan tunduk kepada negara Kafir penjajah, maka rakyatnya harus berjuang untuk membebaskan negerinya dari antek dan cengkraman penjajah. Setelah lepas, baru diintegrasikan dengan wilayah yang lain dalam naungan Khilafah.
Namun, jika wilayah tersebut penguasanya bukan antek, dan tidak tunduk dalam cengkraman negara penjajah, maka bisa langsung diintegrasikan dengan wilayah lain di dalam naungan Khilafah.
Begitulah cara Khilafah menjaga persatuan dan kesatuan umat dan wilayahnya. Cara yang terbukti berhasil mewujudkan persatuan dan kesatuan yang belum pernah dicapai oleh sejarah peradaban umat manusia yang lain. Maka, menyebut Khilafah akan menghancurkan persatuan dan kesatuan Indonesia merupakan kebodohan yang luar biasa.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Posting Unggulan

Mengenali Tauhid

Bismillaahi rahmaani rahiim... Tauhid adalah dasar Islam, pondasi agama yang paling agung yang harus diketahui oleh setiap orang yang me...