Sabtu, 02 Maret 2019

Darurat Dalam Pemilu ?


BOLEH, BAHKAN WAJIB IKUT BERPARTISIPASI DALAM PEMILU DEMOKRASI. JANGAN GOLPUT.

Dengan alasan Dharurat berdasarkan kaidah fiqh Adh-dharuurah tubiihul-mahdzuurah (kondisi dharurat membolehkan yang dilarang) sehingga walaupun pada dasarnya pemilu demokerasi adalah mahzhuuraat (haram /dilarang), maka karena dharurat menjadi wajib diikuti.
Dan kaidah irtikaab akhaffidh dharariya (memilih dharar yang lebih ringan /lebih kecil dari dua dharar) dimana ikut berpartisipasi dalam pemilu demokerasi dhararnya lebih kecil /lebih ringan daripada nggak ikut berpartisipasi, maka wajib pula ikut berpartipasi dalam pemilu demokerasi demi menghindari dharar yang lebih besar.

MASALAH:

- Pertama.

Benarkah berpartisipasi dalam pemilu demokerasi adalah karena kondisi darurat yang tidak boleh tidak harus diikuti sebagaimana definisi darurat dalam islam menurut para 'ulama terdahulu?

- Kedua.
Benarkah jika umat memilih untuk tidak ikut pemilu akan menimbulkan dharar yang lebih besar sebagaimana yang disangkakan, atau dengan kata lain ikut berpartisipasi dalam pemilu demokerasi dhararnya lebih kecil daripada nggak ikut?

JAWAB:

- Pertama.
Definisi Darurat menurut para 'Ulama terdahulu.
Darurat menurut Imam As-Suyuthi adalah sampainya seseorang pada suatu batas yang jika dia tidak melakukan yang dilarang, maka dia akan binasa (mati) atau mendekati binasa (misal kehilangan anggota badan seperti tangan, kaki, dsb). Contohnya boleh makan daging bangkai bagi orang yang sangat kelaparan yang tidak ada yang bisa dimakan saat itu kecuali daging bangkai. (Imam As-Suyuthi, Al-Asybah wa an-Nazha’ir).

Darurat itu terbatas pada kondisi yang mengancam jiwa. Inilah definisi darurat yang disepakati ulama empat mazhab, yaitu mazhab Hanafi, Maliki, Syafii dan Hambali (Wahbah Az-Zuhaili, Mawsu’ah al-Fiqh al-Islami)
Itu definisi darurat dalam islam menurut para 'ulama terdahulu bahkan yang disepakati oleh ulama2 imam madzhab empat.
Nah, di manakah kondisi daruratnya saat pemilu demokerasi yang jika tidak diikuti akan mengancam pada kebinasaan (hilangnya nyawa atau anggota badan) sebagaimana definisi darurat menurut para ulama di atas, sehingga mau tidak mau umat harus ikut berpartisipasi di dalamnya? Jawabnya Tidak ada.
Maka penggunaan kaidah Adh-Dharuurat tubiihul mahzhuurat (Kondisi Darurat membolehkan melakukan hal yang dilarang) untuk mengharuskan umat ikut berpartisipasi dalam pemilu demokerasi adalah tidak tepat. Karena kebolehan mengambil /melakukan yang asalnya mahzhuuraat (terlarang /haram) itu adalah dalam kondisi darurat. Darurat sebagaimana didefinisikan para ulama dalam islam. Dan dalam pemilu demokerasi, kondisi darurat sebagaimana definisi di atas tersebut tidak ada maka tetap pada hukum asalnya adalah haram dan terlarang ikut berpartisipasi di dalamnya.

- Kedua.
Perihal mengambil dharar yang lebih kecil dari dua dharar, penggunaan kaidah ini memiliki syarat di antaranya sesuatu yang ditinggalkan itu, yakni yang dianggapnya dharar yang lebih besar itu sifatnya pasti, hakiki, bukan sekedar kemungkinan atau dugaan, dan benar2 akan terjadi dharar yang lebih besar jika ditinggalkan.
Sekarang coba kita timbang. Benarkah tidak ikut berpartisipasi dalam pemilu demokerasi akan menimbulkan dharar ? jadi mau tidak mau harus ikut berpartisipasi, ataukah sebaliknya?
Dikatakan, dharar lebih besar yang dimaksud adalah jika umat tidak ikut berpartisipasi dalam pemilu demokerasi adalah: kepemimpinan negara dan parlemen akan dikuasai oleh orang2 kafir. Kafir asli maksudnya. Yang berakibat pada mulai dari akan lebih banyak lahirnya kebijakan2 yang tidak berpihak kepada umat islam sampai pada kemungkinan adanya kezhaliman besar hingga terancamnya jiwa kaum muslimin.
Saya tak hendak memungkiri bahwa kemungkinan seperti itu bisa jadi akan terjadi kita berlindung kepada Alloh, dan tidak memungkiri pula bahwa kemungkinan seperti itu memang harus dicegah dan dihindari. Ya, saya tak memungkiri ini mudharat yang besar.
Tetapi coba mari kita timbang dengan dharar yang satunya, yang dianggap lebih kecil dengan ikut berpartisipasi dalam pemilu demokerasi. Benarkan ini dhararnya lebih kecil?
Untuk ini kita perlu mengetahui waqi' (fakta) pemilu demokerasi dan orang2 yang dipemilukan, waqi' parlemen dan jabatan yang dipemilukan berikut tugas2nya, serta waqi' mereka jika terpilih dan menang, apa yang dilakukan.

Tentang waqi' (fakta) pemilu demokerasi jelas sebagai sarana untuk memilih orang yang akan diangkat sebagai anggota legislatif yang tugasnya adalah membuat hukum dan melegislasi hukum buatan jika pemilu pileg, atau orang yang akan diangkat sebagai kepala negara yang akan memimpin /memerintah dengan hukum buatan jika pemilu pilpres, dll. Maka pemilu demokerasi adalah kekufuran bagi orang yang mengetahui waqi'nya ini.
Waqi' para calon, baik caleg, capres dll adalah orang2 yang mereka telah berjanji untuk setia dan menegakkan dasar, hukum dan UU negara yang kita tahu bukan islam. Karena jika tidak maka tidak akan bisa ikuti pemilu demokerasi. Bukankah ini kekufuran?
Dan Waqi' mereka jika terpilih dan menang kemudian akan diangkat dan dilantik. Sebagai anggota dewan bagi caleg, dan sebagai presiden bagi capres. Dan dalam pelantikan itu mereka akan disumpah untuk setia dan memimpin berdasarkan hukum dan UU buatan dalam koridor demokerasi. Bukan berdasarkan islam. Sumpah untuk taat setia dan menjalankan hukum dan uu yang bukan Syari'at Islam. Dan bukankah ini adalah juga kekufuran?
Itu waqi' dari pemilu demokerasi, para calon yang dipemilukan, dan waqi' (fakta) mereka jika terpilih dan menang dalam pemilu yaitu Disumpah untuk taat setia menjalankan dan menegakkan hukum dan undang2 buatan di tengah2 umat. Dan kesemuanya adalah kekufuran akbar yang menjadikan murtad pelakunya yakni para calon tersebut, dan bisa menjadikan kafir murtad pula para pemilih muslim yg mengetahui waqi'-waqi'nya tersebut.
(Catatan. Saya husnuzhzhan, seandainya para masayikh kibar di timur tengah yang berfatwa membolehkan atau yang mewajibkan dan itupun dengan adanya syarat, jika beliau2 mengetahui secara jelas waqi'nya sebagaimana tersebut di atas seputar pemilu demokerasi baik pileg atau pilpres dan pil2 yang lain di negeri ini, insyaa Alloh mereka tidak akan berfatwa membolehkan apalagi mewajibkan, wallaahu a'lam, dan mungkin akan merubah fatwanya sebagaimana syekh2 lainnya seperti Syekh Muqbil dan Syekh Al Albani.).
Kembali.
Yup jika kita timbang, mana yang LEBIH BESAR DHARARnya antara dharar berupa kekufuran akan menimpa orang2 yang berpartisipasi dalam pemilu demokerasi baik dengan menjadi caleg, capres dll atau hanya menjadi pemilih jika mengetahui waqi' (fakta) pemilu seperti di atas, DIBANDING dengan dharar berupa dikuasainya negara dan parlemen oleh orang2 kafir (kafir asli) yang dikhawatirkan bisa berakibat pada lebih dizhaliminya umat bahkan bisa sampai pada dibunuhi (kita berlindung kepada Alloh untuk ini) ??
Dharar berupa kekufuran dengan turut berpartisipasi dalam pemilu demokerasi (melihat pada waqi'2 di atas) adalah dharar yang jelas dan pasti terjadi dan ini adalah dharar terhadap agama, dan menjaga agama adalah perkara dharuriyat yang tertinggi dalam islam, yang tidak boleh dilanggar kecuali bagi orang yang mukrah atau dalam kondisi darurat yang mengancam keselamatan jiwa. Sedangkan dharar berupa kekhawatiran akan berkuasanya orang kafir, kafir asli harbi, hingga akan dizhalimi dan dibunuhinya umat islam jika kafir asli harbi yang berkuasa, ya ini dharar (sekali lagi kita mohon perlindungan kepada Alloh akan hal ini), tetapi terjadinya ini adalah kemungkinan, bukan atau belum pada tingkat kepastian. Lagipula, bukankah selama ini negeri ini dipimpin oleh orang2 yang "beragama islam" dan parlemen juga didominasi oleh orang2 "muslim" tetapi umat tetap terzhalimi dan tertindas dengan diterapkannya hukum2 kufur terhadap mereka, yang mana ini adalah kezhaliman yang besar terhadap syari'at Alloh dan kaum muslimin? Maka lebih dikuatkan dharar yang telah jelas dan yang pasti akan terjadilah yang harus dijauhi dan ditinggalkan yang berupa kekufuran /kemurtadan yaitu dengan cara tidak ikut serta berpartisipasi dalam pemilu demokerasi.
Maka sebagaimana tertolaknya penggunaan kaidah Adh Dharuurah tubiihul mahzhuurat pada pembahasan masalah pertama, penggunaan kaidah akhaffudh dhararayn (memilih dharar yang lebih kecil dari dua dharar) untuk mengharuskan umat mengikuti pemilu demokerasi dengan waqi'2 (fakta) seperti diketahui di atas adalah tidak tepat. Kalaupun maksa penggunaannya, maka telah terbalik dalam mengidentifikasi mana dharar yang lebih besar yang harus dijauhi.
Demikian semoga difahami, Wallaahu A'lamu bish-shawaab.
-------------

Nb.
Tentang bagaimana kaidah yg cocok untuk memandang pemilu demokerasi yang sesuai insyaa Alloh dengan hukum syara' untuk waqi' pemilu demokerasi, asas dan tujuannya, saya telah menuliskannya di sini: https://www.facebook.com/100013486807527/posts/578097872649768/?app=fbl.

Pertanyaan, Lalu apa solusinya? Solusi untuk kita2 selaku pribadi2 muslim yg hidup di era demokerasi, dan bagaimana solusi mengubah sistem jika tidak masuk atau berpartisipasi dalam sistem demokerasi?

Dibahas berikutnya insyaa Alloh...

#cp@FBCakSantri

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Posting Unggulan

Mengenali Tauhid

Bismillaahi rahmaani rahiim... Tauhid adalah dasar Islam, pondasi agama yang paling agung yang harus diketahui oleh setiap orang yang me...