Jumat, 09 Oktober 2020

Hukum Syari'at dan Hukum Idari'yat

Hukum dan undang-undang yang diadopsi, dilegislasi dan diterapkan oleh suatu negara itu ada yang termasuk dalam ranah Hukum Syari'at, ada yang termasuk ranah Mashālihul Mursalah.

Apakah itu Hukum Syari'at dan apa itu Mashālihul Mursalah, dan di mana posisi Hukum Idari'yat?

Berikut penjelasannya :

1. "Istilah Syari’at, Syara’ , dan Syir’ah (sinonim) mencakup segala hal yang Allah syari'atkan, baik berupa keyakinan-keyakinan maupun amal-amal perbuatan", demikian menurut Syaikhul Islām Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam Majmu’ Al-Fatāwā, 19/306. Maka Syari'at adalah ketetapan Allah (apa-apa yang Allah syari'atkan) mencakup masalah i'tiqadiyyah maupun 'amaliyyah.

Imam Asy-Syāfi'ī rahimahullah mendefinisikan Hukum Syara' adalah: "Khithābu Asy-Syāri' al-muta'allaqu bi af'ālil-mukallaf" yang artinya adalah : "Seruan Asy-Syāri' (Sang Pembuat hukum) yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf (orang yang terbebani hukum atau perintah dan larangam)", baik berupa tuntutan, pilihan, dan ketetapan.

Hukum Syariat mencakup : AHKĀMUT TAKLIFIYYAH seperti penetapan hukum wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram, dan AHKĀMUT WAHD'IYYAH seperti sah, batal, sebab, syarath, rukhshah, 'azimah dll. Dan penetap semua itu adalah Allah Ta'ālā karena Asy-Syāri' (pembuat hukum syari'at) yang dimaksud di sini adalah Allah Ta'ālā.

Maka di ranah ini barangiapa yang membuat, atau mengadopsi, atau melegislasi, atau menerapkan, hukum dan undang-undang selain dari apa-apa yang Asy-Syāri' yakni Alloh Ta'ālā telah tetapkan dan bakukan, baik berupa penghalalan atau pengharaman, pensunnahan, pemubahan atau pemakruhan, pen-sah-an atau pembatalan, dll, baik dalam ranah hukum pidana maupun perdata, maka dia kafir.

Dan hukumnya adalah hukum kufur, hukum thaghut, dan PEMBUAT atau LEGISLATORNYA juga thaghut. Kenapa? Karena hak tasyri' (hak membuat dan menetapkan/melegislasi hukum) dalam ranah hukum syari'at ini adalah hak Allah semata, yang barang siapa merebut hak ini dari-Nya maka ia telah mengangkat dirinya sebagai Syārik (sekutu) bagi Allah dalam hal Tasyri' hukum-huk syari'at. Alias mengangkat dirinya sebagai ARBĀBAN MIN DŪNILLAH (Rabb-rabb selain Allah) karena wilayah tasyri' hukum-hukum syari'at adalah hak Rububiyyah Allah.

Contoh peraturan-peraturan yang termasuk ranah hukum-hukum syari'at adalah seperti: hukum halal atau haramnya khamr dan riba, sanksi hukuman bagi pencuri dan pezina, dll yang telah terdapat ketentuannya yang baku dari Asy-Syāari' Allah Ta'ālā.

Maka adalah kekufuran bagi suatu negara (pemerintah) yang membuat, mengadopsi, melegislasi dan menerapkan hukum yang menyelisihi apa-apa yang telah Asy-Syāri' (Allah) tetapkan sebagai hukum syari'at-Nya. Hukumnya adalah hukum kufur, mentaatinya juga adalah kekufuran. Di ranah inilah berlaku firman Allah Ta'ālā :

أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ وَلَوْلا كَلِمَةُ الْفَصْلِ لَقُضِيَ بَيْنَهُمْ وَإِنَّ الظَّالِمِينَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

"Apakah mereka mempunyai sekutu-sekutu (sembahan-sembahan selain Allah) yang mensyari’atkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah. Sekiranya tidak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu akan memperoleh azab yang amat pedih.” (QS. Asy-Syuuraa: 21)

Dan firman-Nya :

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِىٓ أَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

"Maka demi Rabbmu, mereka tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya." (QS. An-Nisaa`: 65)

[Itu untuk hukum-hukum syari'at yang baku ketetapannya terdapat dalam Al-Kitab dan As-Sunnah, serta Ijma' yang qath'iy]

2. Adapun Mashālihul Mursalah yang secara bahasa bermakna mashlahat-maslahat yang terabaikan, secara istilah maknanya, "kemashlahatan yang tidak diketahui apakah Asy-Syāri' menolaknya atau memperhitungkannya." (Imam Asy-Syaukanī, Al-Irsyādul Fuhūl). Yakni mashlahat yang Asy-Syāri' tidak menetapkannya sebagai mashlahat yang diperhitungkan (mashlahat mu'tabarah) maupun mashlahat yang ditolak (mashlahat mulghah). Dalam artian karena tidak terdapat nash-nash dan dalil-dalil syara' yang memerintahkannya atau melarangnya.

Imam Mālik rahimahullah sebagaimana dikutip oleh Imam Asy-Syāthibī dalam Kitābul I'tishām mengatakan, Mashālihul Mursalah adalah "maslahat yang sesuai dengan tujuan, prinsip, dan dalil-dalil syara’, yang berfungsi untuk menghilangkan kesempitan, baik yang bersifat dharuriyyah maupun hajiyyah." Simpelnya, Mashālihul Mursalah adalah "mashlahat-maslahat yang tidak ada dalil khusus yang menetapkan atau menolaknya, -mashlahat yang disandarkan pada pertimbangan akal- namun ia sesuai dengan tujuan-tujuan syari’at."(Mukhtashar Al-I'tishām, Abdul Qadir As-Saqqaf).

Maka di ranah Mashālihul Mursalah ini, para ulamā memahami bahwa Asy-Syāri'/Pembuat Syari'at (yakni Allah Ta'ālā) menyerahkannya kepada kaum muslimin atau pemimpin mereka atau ahlinya. Artinya Asy-Syāri' membolehkan -baik dengan- membuat sendiri atau dengan mengadopsinya dari umat lain, dan menerapkan aturan-aturan dalam ranah Mashālihul Mursalah ini untuk kemashlahatan mereka dalam urusan-urusan duniawi. Tergantung mashlahat atau tidaknya berdasarkan akal dan pertimbangan manusia, dengan syarat harus sesuai dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip, tujuan-tujuan dan hukum-hukum syari'at Islam.

Nah yang termasuk dalam ranah Mashālihul Mursalah ini adalah apa yang disebut dengan hukum-hukum Idari' (penertiban) dan ijra`i (prosedural, administrasi). Boleh hukumnya membuat sendiri atau mengadopsinya dari umat lain, dengan syarat sebagaimana syarat diterimanya Mashālihul Mursalah, yaitu : Mashlahat yang dituju selaras dan tidak bertentangan dengan prinsip dan tujuan-tujuan syari'at, dan bentuk serta tatacara pelaksanaannya juga tidak melanggar hukum-hukum syari'at.

Contohnya: pembuatan rambu-rambu lalu lintas dan menetapkan sanksinya sanksi administratif jika ada yang melanggar, peraturan penggunaan helm dan sabuk pengaman, sensus penduduk, pembuatan ktp, akta kelahiran, surat-surat kendaraan, sertifikat rumah, tanah, dll, yang semua bentuk aturan ini tidak terdapat nash-nash syara' yang memerintahkan atau yang melarangnya untuk membuat dan memberlakukannya. Tidak ada nash syara' atau ketetapan Asy-Syāri' (Allah) yang memerintahkan untuk membuat rambu lalu lintas model tertentu misalnya dan dengan sanksi hukum tertentu bagi yang melanggar rambu lalu lintas. Asy-Syāri' (Allah) menyerahkannya kepada manusia untuk membuatnya atau tidak, tergantung mashlahat tidaknya dalam pertimbangan manusia. Dan ini tidak bertentangan dengan prinsip dan tujuan syari'at.

Di Dārul Islam pun, seorang Amirul Mukminin misalnya, boleh membuat atau menetapkan sendiri, boleh pula mengadopsinya dari umat lain, bentuk-bentuk aturan-aturan Idari' ini demi kemashlahatan umum dengan syarat mashlahat yang dituju selaras dengan tujuan-tujuan syari'at dan bentuk peraturan berikut pelaksanaannya tidak bertentangan dengan hukum-hukum syari'at. Dan hal ini tidak bertentangan dengan tujuan-tujuan syari'at di mana salah satu tujuan syari'at secara umum adalah untuk mewujudkan kemashlahatan, dalam hal ini adalah mashlahat mursalat.

Khalifah 'Umar bin Khaththab radhiyallahu 'anhu pernah membuat aturan pendataan pasukan di mana hal ini tidak pernah dilakukan oleh Nabi shallallaahu 'alayhi wa sallam dan Khalifah Abu Bakar radhiyallahu 'anhu. Beliau juga mengadopsi dari Romawi dengan membentuk Diwan Baytul Maal dan pencatat-pencatatnya di mana hal ini tidak terjadi atau dilakukan pada masa Nabi dan Khalifah Abu Bakar, dan tidak ada seorang shahabatpun yang mengingkarinya.

Dan jika misal terdapat penyelisihan dari hukum syari'at pada penetapan hukum-hukum idari', itu bukan dan belum tentu menjadikan hukum-hukum idari'yah itu sebagai hukum kufur atau hukum thaghut. Penyelisihan hukum-hukum idari' dan ijra'i dari hukum-hukum syari'at hukumnya adalah haram, dan bukan kekufuran. Karena tidak setiap penyelisihan dari syari'at adalah kekafiran. Dilihat bentuk dan tingkat penyelisihan/pelanggarannya. Dan di Darul Kufr, hukum-hukum idari'yah seperti sensus, ktp, surat-surat sertifikat dll, itu juga tidak tergolong hukum kufur atau hukum thaghut -sekalipun dibuat oleh thaghut- yang jika kaum muslimin mentaatinya maka dia kafir atau disebut orang yang tidak kufur kepada thaghut. Tidak, Karena yang disebut hukum thaghut adalah hukum-hukum yang dibuat menyelisihi hukum-hukum syari'at yang telah baku ditetapkan oleh Asy-Syāri' Allah Ta'ālā seperti pada point 1 di atas tadi. Dimana mereka, para pembuat dan legislator itu disebut thaghut dan dikafirkan karena membuat dan melegislasi hukum dalam ranah yang hanya menjadi kewenangan Allah sebagai Asy-Syāri' hukum-hukum syari'at. Bukan pada pembuatan dan pelegislasian hukum-hukum idari'yah yang termasuk ranah mashaalihul-mursalah.

Dengan memahami hal ini maka kita akan memahami dan bisa memilah, mana hukum-hukum yang dibuat menyaingi syari'at, yang kita sebut hukum thaghut yang kita diwajibkan mengkufurinya, dan mana hukum-hukum idari' dan ijra'i, yang termasuk ranah Mashālihul Mursalah. Agar terjauh dari sikap ghuluw, terhindar dari ifrath dan tafrith, tidak menjadi murji'ah atau khawarij. (Lihat Adhwā' Al-Bayān, Imam asy-Syinqithiy, 4/82)

Wallāhu a'lām...

Cc : Cak Santri dengan sedikit editan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Posting Unggulan

Mengenali Tauhid

Bismillaahi rahmaani rahiim... Tauhid adalah dasar Islam, pondasi agama yang paling agung yang harus diketahui oleh setiap orang yang me...