Selasa, 24 Desember 2019

Sebenarnya Harga Tak Pernah Naik

MENCENGANGKAN!!! TERNYATA HARGA-HARGA TAK PERNAH NAIK, NILAI MATA UANGLAH YANG SEBENARNYA TURUN

Ketika saya masih SD, sekitar 25 tahun lalu, “uang” jajan harian yang diberikan oleh orang tua saya---kalau pun kebetulan saya dapat jatah jajan makanan di sekolah pada hari itu---adalah Rp.150 (seratus lima puluh rupiah). Dengan modal segitu, saya sudah bisa membeli sebungkus nasi uduk... atau terkadang saya lebih memilih makan beberapa butir bakwan, pempek, dan pisang goreng. Adakah yang sezaman dengan saya?

Waktu pun berlalu. Kini, saat tulisan ini diketik, adalah tahun 2019. Dengan nominal rupiah yang tidak diubah, yaitu Rp.150, dapatkah menurut Anda dibelikan sebungkus nasi uduk dengan porsi yang sama dengan apa yang saya dapatkan 25 tahun lalu?

Jawabannya tentu “Tidak.”

Berapa harga satu porsi nasi uduk hari sekarang? Berdasarkan survei kecil kecilan yang saya lakukan, sepiring atau sebungkus nasi uduk yang saya temui akhir-akhir ini berkisar antara Rp.5.000 (lima ribu rupiah) sampai dengan Rp.15.000 (lima belas ribu rupiah). Saya tidak menemukan ada pedagang nasi uduk yang menjual di bawah Rp.5.000. Namun di beberapa tempat yang agak mewah, ternyata ada yang menjual lebih mahal dari Rp.15.000. Banyak, malah. Anda bisa buktikan sendiri!

Anggap saja nasi uduk yang saya beli 25 tahun lalu di sebuah kantin SD di desa kelahiran saya itu adalah versi yang “paling murah,” yaitu senilai Rp.150 kala itu. Jika kita bandingkan dengan harga hari ini, di mana yang paling murah adalah Rp.5.000, apa yang telah terjadi menurut Anda?

Sayang sekali, penjual nasi uduk ketika saya masih SD dulu sudah pindah rumah dan kini tidak berjualan lagi. Namun andaikan dia masih jualan nasi uduk yang sama—porsinya sama, jenis nasi dan lauknya sama, racikannya sama, warungnya sama, dan dia sendiri masih yang memasaknya, maka saya jamin dia tidak akan mau menjualnya dengan harga yang sama seperti 25 tahun lalu. Dia akan “menyesuaikan” harga jualannya dengan “nilai rupiah” hari ini, tentu saja. Dengan kata lain, dia akan menaikkan harga, yang prediksi saya, semurah-murahnya adalah Rp.5.000 (baca: naik lebih dari 30 kali lipat dari semula Rp.150).

Para ekonom didikan Barat mengatakan ini adalah fenomena INFLASI, alias kenaikan harga (semata). Titik. Tanpa penjelasan yang memadai. Padahal tahukah Anda, yang terjadi justru adalah “penurunan nilai” dari sesuatu yang biasa kita sebut “uang” hari ini, yang utamanya berbentuk kertas tersebut. Istilah yang pas sebenarnya adalah “DEPRESIASI” mata uang fiat/ KERTAS itu sendiri, yang disebabkan pemaksaan nilai terhadap selembar kertas, koin logam murahan, atau kini malah berbentuk byte komputer. Bukan semata-mata kenaikan harga barang dan jasa, sebagaimana diklaim oleh para ahli ekonomi.

Bandingkan dengan EMAS! Meskipun bukan satu-satunya benda yang pernah menjadi medium of exchange sekaligus sebagai unit of account dan store of value dalam jangka waktu lama, bersama dengan perak, emas terbukti mampu menjaga daya belinya dari semenjak ia dikenal manusia sebagai alat tukar, hingga kini, dan bahkan sampai akhir zaman nanti, insya Allah.

Sebuah hadits yang sangat populer menyatakan bahwa di zaman Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, 1 Dinar emas (berupa koin 4,25 gram, 22 karat) dapat dibelikan satu hingga dua ekor kambing. Hari ini pun demikian. Ketika pengantar ini diketik, Juli 2019, daya beli 1 Dinar emas setara dengan Rp.2.880.000 (cek sekarang di pasarmuamalah.net atau wakalaindukbintan.com), dan masih saja mampu untuk dibelikan satu hingga dua ekor kambing.

Perhatikan baik-baik kalimat dalam paragraf barusan! Data awal yang kita pakai (yakni ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam masih hidup) versus data pembandingnya (yakni hari ini) memiliki perbedaan waktu lebih dari 1.400 tahun, namun 1 Dinar emas tetap saja mampu mempertahankan daya belinya. Luar biasa, bukan? Selengkapnya akan Anda dapati penjelasannya di lembaran-lembaran buku ini, yang sayangnya jarang sekali atau malah tidak pernah diajarkan sama sekali di bangku-bangku sekolah kita dulu.

Dari dua contoh sederhana yang telah kita kemukakan, terlihat jelas perbedaan antara mata uang fiat (yang diwakili oleh “uang” kertas) dengan uang sejati (yaitu emas, dan juga perak). Saya menyebut emas dan perak sebagai “uang sejati” sebab keduanya mampu bertahan tidak hanya sebagai alat tukar paling lama, namun juga sebagai penakar harga dan penyimpan nilai yang sangat ampuh.

Dalam kurun 25 tahun saja, daya beli mata uang fiat sudah jatuh drastis berpuluh kali lipat. Berbeda halnya dengan emas yang selalu cenderung stabil bila ditakar dengan benda riil (bukan diukur dengan mata uang fiat), ribuan bahkan jutaan tahun.

Andaikan ada catatan sejarah lainnya yang seakurat dan terpercaya seperti halnya Hadits Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam—yang bagi ummat Islam adalah sumber hukum kedua setelah al-Qur’an—tentang daya beli emas dan perak pada zaman dahulu, niscaya hasilnya akan menunjukkan pola yang serupa: stabil atau mendekati stabil, sebagaimana telah dicontohkan dalam kisah harga kambing 1.400 tahun lalu dalam satuan Dinar emas tadi. Nanti Anda juga akan mendapati bahwa ternyata 1 Dirham perak (berupa koin 2,975 gram) tetap mampu dibelikan satu ekor ayam bahkan sejak zaman Khalifah Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu hingga hari ini.

Maka kesimpulannya, sebenarnya harga-harga barang dan jasa TAK PERNAH NAIK, nilai (baca: daya beli) rupiah dan semua jenis mata uang fiat-lah yang SELALU TURUN. Cara membuktikannya adalah dengan menakarnya pakai benda riil---yang menurut Imam Al-Ghazali penakar harga yang paling adil adalah Dinar dan Dirham.

Copas @rengky

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Posting Unggulan

Mengenali Tauhid

Bismillaahi rahmaani rahiim... Tauhid adalah dasar Islam, pondasi agama yang paling agung yang harus diketahui oleh setiap orang yang me...